Translate

Rabu, 25 Desember 2013

Perempuan di Jagat Politik

Oleh: Farida Denura, S.Sos, MM

PEREMPUAN Indonesia belakangan ini seolah sedang menapaki suatu tahap baru dalam perkembangan peradaban bangsa. Hal ini dilihat dari antusiasme kaum perempuan dalam jagat politik nasional, baik dalam tingkatan parpol maupun dalam tingkatan yang lebih berani, yaitu mencalonkan diri menjadi anggota legislatif (caleg), baik untuk DPR maupun untuk DPRD. Apakah caleg dari kalangan perempuan ini hanya sebagai caleg yang sekadar memenuhi syarat pemenuhan quota dengan bernomor urut sandal, atau bernomor urut jadi? Ini tergantung pada kapasitas dan perjuangan politik perempuan.

Keberanian kaum perempuan ini tentu tidak terlepas dari semangat afirmasi yang sudah diusung lewat UU No. 10/2008 tentang Pemilu yang sedianya Pasal 53 yang mengatakan, daftar bakal calon memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan dan Pasal 55 yang mengatakan, setiap tiga orang bakal calon sekurang-kurangnya terdapat satu orang perempuan bakal calon.

Semangat afirmasi ini dibingkai dalam sistem pemilu proporsional daftar terbuka “terdaftar” menggunakan BPP sekurang-kurangnya 30 persen dan nomor urut dalam penentuan calon terpilih (Pasal 214). Tetapi, bagaimana dalam prakteknya? Ini ternyata masih sulit dijawab, barangkali sesulit perempuan meyakinkan kepada kaum laki-laki bahwa dirinya sanggup berpolitik.

Tulisan ini tidak secara spesifik menyoroti tentang masalah caleg perempuan, tetapi mengurainya dalam lingkup politik secara keseluruhan dalam ranah budaya patriarkhi.

Diskriminasi
Dalam jagat politik, baik lewat kajian budaya atau sosial dapat dikatakan bahwa sampai saat ini dirasakan tempat perempuan di posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Fisik perempuan dijadikan pembenaran pada terbentuknya pandangan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, pembagian kerja yang berbeda pada anak perempuan dan anak laki-laki di dalam rumah tangga, telah menjadi pembudayaan yang sistematis bahwa perempuan berada dalam lingkup domestik yang nilainya lebih rendah ketimbang laki-laki.

Peran paradigmatik sebagai maskulin dan feminim dalam dasawarsa terakhir memang telah mengalami perubahan, atau pengembangan ke arah kesetaraan, tetapi semua itu masih dalam domain yang sangat terbatas. Berbagai keputusan dalam hidup lingkup rumah tangga seperti pembelian rumah, kesempatan pendidikan bagi keluarga mampu, sudah mulai tidak membedakan antara lakii-laki dan perempuan.

Tetapi, bagaimana dengan jagat politik yang disoroti dalam esai ini? Sampai saat ini dominan politik masih dirasakan sebagai dominan laki-laki oleh sebagian masyarakat. Artinya, tidak dapat disangkal, dalam jagat politik, peran dan posisi kaum perempuan di Indonesia masih mengalami situasi yang agak diskriminatif. Penempatan perempuan hanya sebagai calon pelengkap-mendapatkan nomor sandal adalah politik diskriminatif yang masih terjadi saat ini dalam momen yang paling aktual. Ironis?

Memang ironis, karena di Indonesia jumlah perempuan dalam Pemilu, mendominasi kaum laki-laki. Perempuan dengan jumlah massa pemilihnya yang lebih besar ketimbang laki-laki berpotensi besar dalam memenangkan Pemilu untuk sebuah parpol kalau partai pandai mengemas strategi yang baik yang memenuhi selera politik kaum hawa ini. Sayangnya, situasi ini pun tidak dimaksimalkan oleh para politisi dari kalangan perempuan.

Ketidakcermatan kaum perempuan dalam membentuk wacana politik dan memperjuangkannya secara meyakinkan dalam gerbong politik, akan semakin meyakinkan kalangan laki-laki bahwa perempuan Indonesia masih buta atau belum pandai berpolitik. Situasi ini semakin merangsek perempuan ke wilayah yang masih tabu dan buta dalam politik. Belum lagi tatkala perempuan diberondong dengan berbagai wacana yang tidak menguntungkan diri dalam ranah budaya dan digiring ke dalam ranah teologis yang menjeratkan kaum perempuan, seperti perempuan tidak pantas menjadi pemimpin, ibarat perempuan tidak bisa jadi pastor atau imam yang memimpin ekaristi?

Kita mengambil sebuah contoh kasus dalam kancah politik Indonesia, yakni sewaktu sosok Megawati Soekarnoputri, putri mendiang presiden pertama RI, Soekarno, mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 1999. Perdebatan apakah seorang perempuan dapat menjadi pemimpin bangsa, sebagai presiden? Bagi umat Islam di Indonesia, kehadiran figur pemimpin perempuan memang menjadi kontroversi yang tidak kunjung henti. Meskipun ketika itu kelompok Cendekiawan Muslim Modernis memperbolehkan kepemimpinan perempuan, tetapi tidak mudah bagi kelompok Islam tradisionalis untuk menerimanya.

Perdebatan masalah kepemimpinan politik perempuan dalam konteks kekinian –antara layak atau tidaknya, memang tidak lain merupakan sebuah konsekuen logis bagi rakyat Indonesia yang dikungkung budaya patriakhi dan mayoritas penduduknya beragama Islam yang memiliki landasan teologis yang tidak memperkenankan kaum perempuan sebagai pemimpin seperti menjadi kiai, atau masih mustahilnya perempuan menjadi pastor dalam ranah teologi Katolik?

Baik dalam ranah teologis maupun dalam ranah budaya Indonesia yang patriakhi, memang keberadaan kaum keturunan Hawa ini cenderung dipahami dan ditempatkan secara diskriminatif. Ini juga sebagai halnya bagaimana sulitnya perempuan menempatkan peran dan posisinya dalam wilayah publik. Kesulitan ini akan tetap sulit jika kaum perempuan sendiri tidak diberi ruang yang memadai dalam mengembangkan potensi intelektualnya lewat jalur pendidikan, ketika orang tua masih menomorsatukan anak laki-laki dalam meneruskan pendidikan tinggi ketimbang anak perempuan.

Hal yang terakhir ini harus menjadi pusat perhatian semua pihak. Bagi para perempuan di jagat politik atau para aktivis feminisme barangkali perlu menggarap agenda-agenda advokasi, pendamping dan pendidikan politik, sekaligus pendidikan jender demi peningkatan SDM perempuan.

Kesempatan
Dalam ranah budaya, posisi perempuan memang terasa masih sangat sulit menyejajarkan diri dengan kaum laki-laki, apalagi dalam dunia persaingan yang sangat keras seperti dunia politik ini. Tetapi, perjuangan ke arah itu tentu tidak mustahil mengalami peningkatan. Tuntutan demokratisasi dan kemajuan peradaban dunia sangat memungkinkan hal itu. Tentu saja dalam perjuangan itu kaum perempuan harus tidak melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan yang melahirkan dan memiliki sifat-sifat kelemahlembutan.

Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa perjuangan perempuan di jagat politik di era demokrasi dan di saat telah diberlakukannya sistem quota, harus dilihat sebagai sebuah peluang emas bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan nasibnya di jagat politik yang berkesetaraan jender. Persoalan kini kembali kepada kaum perempuan sendiri, apakah mereka sanggup berjuang bukan saja memenuhi ambisi politiknya, tetapi terutama mengangkat harga diri, harkat dan martabat kaumnya? Para politisi perempuanlah yang menjawabnya!

Yang jelas, keterwakilan kaum perempuan di jagat politik dalam mempengaruhi mainstream partai dan juga mempengaruhi pembuatan keputusan dalam produk politik di DPR dan DPRD saat ini semakin penting dan urgen demi perbaikan nasib kaum perempuan sendiri.(*)

Penulis adalah Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan, PP Pemuda Katolik Periode 2006-2009.

[Diterbitkan di Harian Umum Pos Kupang Edisi, Jumat, 05 September 2008]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar