Translate

Rabu, 22 Juli 2015

Paus Fransiskus Ucapkan Selamat Idul Fitri Kepada Umat Muslim Sedunia

Paus Fransiskus mengucapkan Selamat Idul Fitri kepada umat Muslim sedunia.Paus tampak menyalami Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan  Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. DR. M. Din Syamsuddin, MA.[Foto: Ist]
 
Pemimpin Gereja Katolik, Paus Fransiskus mengucapkan selamat Idul Fitri kepada umat Muslim di seluruh dunia. Salam ini disampaikan melalui Presiden Dewan Kepausan Dialog Antaragama Jean-Louis Kardinal Tauran, dari Vatikan, Rabu (15/7/2015).

Berikut teks selengkapnya:
UCAPAN SELAMAT  Idul Fitri 1436 H

Saudara-saudari Muslim yang terkasih,
Dengan senang hati, atas nama seluruh umat Katolik sedunia dan atas nama saya pribadi, saya mengucapkan selamat merayakan pesta Idul Fitri yang penuh kedamaian dan kebahagiaan. Dalam bulan Ramadhan, saudara sekalian sudah melaksanakan banyak kegiatan menyangkut agama dan sosial seperti puasa, doa, sedekah, bantuan kepada kaum miskin, kunjungan kepada sanak saudara dan sahabat. Saya berharap dan berdoa agar buah amal bakti ini dapat memperkaya kehidupan saudara sekalian!

Bagi beberapa di antara saudara, demikian juga beberapa dari anggota komunitas agama lain, kegembiraan pesta ini dinaungi oleh ingatan sedih akan para kekasih yang telah kehilangan hidup atau harta-miliknya, atau menderita secara fisik, mental dan spiritual, disebabkan oleh kekerasan yang menimpa mereka. Beberapa komunitas etnik dan agama di sejumlah negara pun mengalami penderitaan yang amat besar dan tidak adil: pembunuhan anggota mereka, perusakan warisan kebudayaan dan keagamaan, pengusiran paksa dari rumah dan kota mereka, pelecehan dan pemerkosaan perempuan, perbudakan, perdagangan manusia, jual-beli organ tubuh dan bahkan penjualan mayat!

Kita semua sadar akan beratnya kejahatan-kejahatan ini. Tetapi, yang membuatnya lebih menjijikkan lagi adalah usaha untuk membenarkannya atas nama agama. Sungguh jelas bahwa ini merupakan suatu penyalahgunaan agama untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan.

Tak disangkal bahwa mereka yang diserahkan tanggung-jawab untuk menjaga keamanan dan ketenteraman umum, juga berkewajiban untuk melindungi orang dan harta-miliknya dari kekerasan buta para teroris. Namun, ada juga tanggung-jawab mereka yang bertugas untuk mendidik: keluarga, sekolah, buku pegangan sekolah, pemuka agama, wadah diskusi agama, media. Kekerasan dan terorisme lahir lebih dahulu di dalam pikiran orang yang menyimpang, kemudian dilaksanakan di lapangan.

Mereka yang terlibat dalam pendidikan orang muda dan dalam beragam kancah pendidikan, seharusnya mengajar tentang kesakralan hidup dan keterkaitannya dengan martabat setiap pribadi, terlepas dari suku, agama, budaya, jenjang sosial, atau pilihan politiknya. Tidak ada orang yang hidupnya lebih berharga dari hidup orang lain hanya karena suku atau agamanya. Karena itu, tidak seorang pun boleh membunuh. Dan tidak seorang pun boleh membunuh atas nama Allah. Bahkan, itu merupakan kejahatan dua kali lipat: karena melawan Allah dan melawan manusia.

Tidak bisa ada sikap mendua dalam pendidikan. Masa depan seseorang, atau suatu komunitas, bahkan seluruh umat manusia tidak boleh didirikan di atas ambiguitas itu atau di atas kebenaran yang semu. Baik umat Kristiani maupun umat Islam, sesuai dengan tradisi masing-masing, memandang Allah dan berhubungan dengan Dia sebagai wujud Kebenaran. Kehidupan kita dan tingkah laku kita harus mencerminkan keyakinan ini.

Menurut Santo Yohanes Paulus II, kita, umat Kristiani dan umat Islam, mempunyai “privilese doa” (Pidato kepada Alim Ulama Muslim, Kaduna, Nigeria, 14 Februari 1982). Doa kita sangat dibutuhkan: untuk keadilan, perdamaian, dan ketenteraman di dunia; bagi mereka yang telah menyimpang dari jalan kehidupan yang benar dan melakukan kekerasan atas nama agama, supaya berpaling kepada Allah dan memperbaiki hidupnya; bagi orang miskin dan sakit.

Perayaan-perayaan kita, antara lain, memupuk harapan kita untuk masa kini dan masa depan. Kita memandang masa depan umat manusia dengan penuh harapan, terutama ketika kita berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan impian kita yang benar agar menjadi nyata.

Bersama dengan Paus Fransiskus, kami berharap agar buah-buah bulan puasa Ramadhan dan kegembiraan Idul Fitri menganugerahkan kepada saudara sekalian kedamaian dan kesejahteraan, sambil meningkatkan perkembangan saudara sebagai manusia dan sebagai orang beriman.

Selamat Hari Raya kepada saudara sekalian!

Vatikan

Jean-Louis Kardinal Tauran
Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama

Teks  ini diterima UCAN Indonesia dari  Pater Markus Solo Kewuta SVD, Sekretaris Desk Dialog Kristen-Muslim di Asia Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama, Vatikan.

Sumber: http://indonesia.ucanews.com/2015/07/16/paus-fransiskus-menyampaikan-selamat-idul-fitri-kepada-umat-muslim-sedunia/

Kamis, 09 Juli 2015

Warga Muslim Berbuka Puasa Bersama Pemeluk Agama Lain di Gereja Katolik

Suasana berbuka puasa bersama Pengurus Gereja Santo Antonius di Banjarnegara, Jawa Tengah, di dalam gereja. [Foto-Foto: tribun-timur.com/NET TV & BBC]
TRIBUN-TIMUR.COM - Nah, buka puasa ini lain daripada yang lain.

Dikutip dari video NET TV, pengurus Gereja Santo Antonius di Banjarnegara, Jawa Tengah, menyelenggarakan buka puasa dengan mengundang warga Muslim dan non-Muslim di sekitar gereja.

Buka puasa pada Ramadan tahun ini merupakan kali ketujuh digelar dan akan digelar lagi Ramadan tahun depan.

“Sudah tahun ketujuh dan harapannya terjalin komunikasi, tali silaturahmi, dan persaudaraan semakin erat,” kata pengurus Gereja Santo Antonius, Vincentius Suranto.

Sementara, tokoh agama yang hadir, Khayatul Makki mengatakan, buka puasa bermaksud mengimplementasikan semangat toleransi antarumat beragama.

“Perbedaan ras, golongan ini harus dihilangkan, dihapus. Bagaimanakah menjalin kebersamaan antarumat beragama, bagaimana menjalin hubungan antargolongan, bagaimana menjalin antarras,” katanya.

Undang Non-Muslim
Selama bulan puasa dalam tiga tahun terakhir ini, para mahasiswa di London rajin mengadakan acara buka puasa bersama dengan mengundang warga Muslim dan non-Muslim.

Acara ini antara lain ditujukan untuk "mengangkat kesadaran tentang Islam," kata Heidi Green, salah seorang penyelenggara.

Melalui Tenda Ramadan, Greg, mahasiswa Prancis mengatakan dapat mengetahui arti Ramadan yang sebenarnya.
Dinamakan Tenda Ramadan, penyelenggara mengundang umat Muslim, tunawisma, dan masyarakat dari berbagai keyakinan dan latar belakang agar dialog antar agama dapat ditingkatkan, tambah Heidi.

"Dari survei tahun lalu, diperkirakan setengah dari peserta yang mengikuti adalah non-Muslim," kata Hedi.

"Bukti menunjukkan bahwa acara ini membawa kebersamaan dengan cara unik," tambah Heidi.

Heidi Green sendiri mengatakan sebagai non-Muslim, ia mulai terlibat sebagai sukarelawan dalam program yang digagas mahasiswa SOAS, University of London, sejak tiga tahun lalu.

Selain di London, Tenda Ramadan juga diselenggarakan di Manchester dan Plymouth.

Belajar Pesan Ramadan
"Saat pertama kali saya mengetahui adanya Tenda Ramadan, saya jadi belajar tentang Ramadan, saya kagum dengan berbagai upaya dalam satu bulan untuk membantu (sesama) dan beribadah."

Para sukarelawan yang juga termasuk non-Muslim menyiapkan makanan untuk berbuka.
Sementara itu, Kim, warga Inggris lain yang ikut datang dalam acara buka bersama di Tenda Ramadan mengatakan melalui blog di situs Tenda Ramadan, "Apa yang paling saya suka adalah tidak ada kewajiban untuk ikut beribadah dan langkah saling menghargai antar keyakinan yang berbeda."
Setengah dari peserta tahun lalu adalah non-Muslim kata Heidi Green
"Mengundang tunawisma, menurut saya juga menunjukkan prinsip fundamental setiap agama di dunia, untuk membantu mereka yang kurang beruntung," tambahnya.

Greg, warga Prancis yang tengah belajar di London mengatakan melalui acara ini ia dapat mengetahui "pesan yang sebenarnya dari Ramadan, yaitu saling membantu di antara komunitas."(net tv/bbc)

Sumber: www.tribun-timur.com

Rabu, 08 Juli 2015

Komunitas Sant’Egidio Gelar Buka Puasa Bersama dengan 500 Warga Miskin

Komunitas Sant’Egidio menggelar acara buka puasa tahun ini  digelar di Sekolah Santa Maria, Jakarta Pusat, dihadiri oleh lebih dari 500 peserta dari anak-anak Sekolah Damai, pemulung, tukang bajaj, tukang becak, Selasa (7/7/2015) di Jakarta. [Foto-Foto: Dok. Komunitas Sant’Egidio]
JAKARTA - Komunitas Sant’Egidio, sebuah kelompok awam Katolik, mengadakan buka puasa bersama dengan warga miskin yang tinggal di sekitar Jakarta dimana tahun ini merupakan acara buka puasa ke-19.

Acara buka puasa tahun ini  digelar di Sekolah Santa Maria, Jakarta Pusat, dihadiri oleh lebih dari 500 peserta dari anak-anak Sekolah Damai, pemulung, tukang bajaj, tukang becak. Dalam acara itu mereka dilayani oleh lebih dari 100 relawan Katolik, termasuk Legio Maria, WKRI, KKMK.

Sebelum buka puasa, acara itu diisi dengan  siraman rohani dari seorang ustad, pembagian hadiah, doa bersama.

Ustadz Chairuddin mangatakan dalam kotbahnya bahwa acara buka puasa ini sangat bagus sebagai sarana membangun kebersamaan dan persaudaraan.

“Kita hendaknya galang persaudaraan dengan menunjukkan kebersamaan kita,” kata Ustadz Chairuddin, pembina sebuah Panti Asuhan di Kramat, Jakarta Pusat.
Suasana acara berbuka puasa.

Sebelum mereka kembali ke rumah mereka masing-masing, para peserta dibagikan bingkisan  untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri

Nining, 37, yang bersama tiga anaknya, mengatakan ia berterima kasih kepada Sant’Egidio dan “Saya merasa senang bisa berkumpul bersama teman-teman untuk berbuka puasa bersama.”

Ia mengakui bahwa ia telah lima kali menghadiri  acara buka puasa bersama. “Mereka (Sant”Egidio) sangat peduli terhadap keluaga dan anak-anak saya. Bahkan orang mengatakan kepada saya, Nining, kamu tidak takut kristenisasi, tapi saya jawab, justru ketika saya bergabung dengan mereka saya semakin menjadi seorang Musim yang baik.”

Acara ini buka puasa ini rutin diadakan oleh San’Egidio setiap tahun sebagai tanda kasih.

“Acara buka puasa ini sebagai tanda kasih kita kepada sahabat-sahabat yang kita layani,” kata Eveline Winarko, koordinator Sant’Egidio Indonesia.

Komunitas Sant’Egidio berpusat di Roma, didirikan tahun 1968. Di Indonesia komunitas ini memiliki  cabang di sejumlah keuskupan dengan misi yang sama untuk membantu warga miskin.

Kegiatan rutin Komunitas Sant’Egidio – pelayanan bagi anak-anak, pelayanan bagi lansia, pelayanan bagi orang kusta, pelayanan bagi orang-orang jalanan.

Spiritualitas Komunitas ini bisa diringkas dalam dua perkataan yaitu Persahabatan dan Persaudaraan.

Sumber: http://indonesia.ucanews.com

Senin, 06 Juli 2015

Cerita Syahar Banu, Jadi Saksi Kanonik Pernikahan Islam-Katolik

Syahar Banu. "Cinta itu indah. Agama dan kasih Tuhan juga indah. Keindahan hanya akan bersatu dengan sesamanya. Kenapa harus ada perpisahan karena agama?"
[Foto: Dok. Pri]
Kemarin malam (Jumat, 4 Juli 2015-Red), aku menjadi saksi Kanonik untuk pernikahan beda agama antara sahabatku yang Islam dan tunangannya yang Katolik.

Sahabatku seorang perempuan Islam berjilbab. Sedangkan tunangannya seorang Katolik taat yang sempat menempuh pendidikan calon Imam tingkat satu di Malang. Alih-alih jadi Romo, ia lebih memilih untuk jadi programmer yang hadapi algoritma daripada umat.

Hanya dengan melihat mereka sekilas, kita akan tahu bahwa mereka adalah dua orang yang sedang jatuh cinta.

Ditunjuk jadi saksi Kanonik awalnya adalah hal mendebarkan. Aku perlu meyakinkan diri sendiri apakah mungkin seorang muslim bisa jadi saksi Kanonik? Aku kontak Romo sahabatku untuk menanyakan keabsahan "syariatnya". Romo bilang, saksi Kanonik itu yang penting mengenal calon mempelai non Katoliknya. Tidak harus beragama Katolik. Aku jadi lega. Setidaknya, sebagai sahabat yang sudah bertahun-tahun bersama, ternyata aku berguna juga.

Aku ke gereja Katedral Jakarta bersama pasangan pengantin dan teman SMA sahabatku yang juga berperan sebagai saksi Kanonik. Setelah shalat Maghrib di Istiqlal, kami menyeberang ke Gereja Katedral dan buka puasa di depan pasturan. Misa Jumat Malam belum usai. Jadilah kami menunggu sampai Romo selesai memimpin Misa.

Tepat saat Misa Jumat usai, kami berempat dipersilakan masuk ke ruang tamu Pasturan. Kedua mempelai masuk lebih dulu ke ruang kerja Romo. Romo yang menangani pernikahan ini bernama Romo Broto, Pr. Kesanku padanya, Beliau seseorang yang murah senyum dan ramah.

"Siapa yang akan jadi saksi pertama?" Tanya Romo Broto pada aku dan teman sahabatku saat kami berdua ada di ruangannya.

"Dia saja Mo, yang lebih tua." Kataku.

Romo dan teman sahabatku tertawa.

Romo memulai pertanyaan seputar sejauh mana kami mengenal calon mempelai perempuan. Dia juga bertanya soal asal wilayah, pekerjaan, alamat, dan lainnya. Kami harus mengisi selembar formulir setengah halaman kertas HVS yang isinya adalah kesaksian kami berdua bahwa mempelai perempuan non Katolik tersebut memang belum pernah menikah.

Setelah mengisi formulir, kami berdua tanda tangan di bawah kalimat sumpah yang ditutup dengan, "Demi Allah". Bukan demi Yesus dan bukan pula demi Roh Kudus. Aku senang dengan pilihan kata di dalam surat kesaksian tersebut.

"Di Katolik memang ada dispensasi dalam hal pernikahan. Kami meyakini bahwa yang namanya iman itu tak dapat dipungkiri oleh hati. Bisa saja seseorang bohong di KTP dalam hal agama hanya untuk menikah. Tapi yang namanya iman dalam hati, sulit untuk diganti-ganti. Jadi, Disparitas Cultus ini untuk memudahkan, bahwa pernikahan tak pernah jadi penghalang keimanan seseorang dan sebaliknya. Untuk apa yang Katolik pindah Islam jika hatinya tetap Katolik? Dan untuk apa yang Islam pindah Katolik jika yang nyaman baginya adalah beragama Islam? Ini adalah solusi yang diberikan gereja untuk umatnya."

Kami mengangguk mendengar penjelasannya.

Saat melakukan penelitian di gereja Santo Alfonsus Paroki Nandan, Jogja pada tahun lalu, aku sudah diberi penjelasan oleh Romo Kris mengenai hukum pernikahan dalam gereja Katolik.

Oh ya, Romo Kris ini ketua Paroki Nandan. Tema Disertasi S3 nya adalah tentang Disparitas Cultus. Saat aku menyebut bahwa aku kuliah di Paramadina, dia langsung bertanya soal pernikahan beda agama yayasan Paramadina. Aku tak tahu banyak soal pernikahan beda agama di yayasan. Jadi aku berjanji padanya untuk mencarikan info seputar itu.

Romo Kris lah yang memberi penjelasan padaku bahwa di dalam gereja Katolik memang tak ada perceraian. Adanya pembatalan pernikahan yang harus diurus sampai Vatican. Seseorang yang beragama non Katolik yang pernah menikah sebelumnya, lalu bercerai baik secara agama maupun secara negara tidak dapat lagi menikah dengan seorang Katolik karena punya halangan pernikahan. Makanya, salah satu fungsi diumumkannya pernikahan setelah Misa, selama tiga kali Misa adalah untuk mendeteksi adanya halangan pernikahan itu tadi.

Aku bercerita kepada Romo Broto soal sedikit interaksiku dengan Romo Kris yang mengenalkan aku pada konsep disparitas kultus. Dia tampak girang.

"Walaupun satu kampung sudah tahu bahwa calon mempelai belum pernah menikah, kesaksian kanonik ini tetap harus dilakukan. Ini sebagai formalitas saja." Lanjut Ketua Paroki Katedral ini.

Di tengah diskusi singkat kami, Romo memujiku dengan berkata, "Wah, kamu sudah banyak tahu Katolik."

Aku tersenyum geli.

Sebenarnya aku tak banyak tahu soal Katolik. Seorang kawan yang mengaku sebagai Katolik sesat karena tak beribadah lagi ke Gereja pernah memberikan banyak penjelasan soal kekatolikan padaku sebagai bahan riset. Selain itu, aku sering berdiskusi dengan Romo dan Frater kenalanku dan membanding-bandingkan penjelasan mereka dengan tradisi agama Samawi yang ada.

Tentu saja aku masih sering bingung dengan istilah-istilah spesifik yang dipakai orang Katolik. Jelas banyak sekali hal yang belum aku tahu soal agama lain. Bahkan aku baru tahu kalau di Katolik sunat untuk lelaki itu bukan sebuah keharusan setelah nonton film bareng di kampus yang memuat sebagian sejarah gereja Katolik abad pertengahan. Tentu saja, tidak penting untuk mengetahui apakah pengikut agama tertentu punya tradisi sunat untuk lelakinya atau tidak. Tapi, aku akhirnya paham bahwa ternyata aku tidak banyak tahu.

Mengetahui ketidaktahuan adalah sebuah pengetahuan yang berharga juga.

Hanya 5 menit waktu yang dibutuhkan untuk jadi seorang saksi Kanonik. Tunangan sahabatku bilang, waktu yang dibutuhkan tiap orang beda-beda. Tergantung Romonya juga.

Tunangan sahabatku heran, kenapa beberapa kali terdengar tawa kami.

"Kamu becandain Romo ya Ban?" Tanyanya.

Aku menggeleng. Memang ada banyak lelucon yang menyenangkan selama kami ngobrol dengan Romo sambil mengisi formulir tadi.

Sangat berbeda saat sahabat dan tunangannya menghadapi Romo. Suasananya serius. Mereka bilang, mereka ditanyai Romo dengan hal-hal yang sudah mereka pelajari saat Kursus Pernikahan.

Aku sempat bertanya pada tunangan sahabatku, kenapa dia tak membawa saksi Kanonik juga. Dia jawab, "Saksi Kanonik itu cuma dibutuhin calon mempelai non Katolik. Data diriku kan udah ada di parokiku."

Oh, begitu. Tuh kan, aku baru tahu.

Bagiku, mereka pasangan yang lucu, saling melengkapi dan menjaga. Tunangannya selalu menyarankan sahabatku untuk konsisten berjilbab. Sahabatku sering meminta tunangannya untuk membawa serta dirinya tiap Misa. Aku berbahagia untuk mereka.

Tentu saja, pernikahan beda agama masih jadi pro dan kontra di kalangan umat beragama. Keluarga sahabatku juga masih banyak yang menentang terjadinya pernikahan tersebut. Tapi, ayah sahabatku sungguh hebat. Dia berani pasang badan demi kebahagiaan anaknya. Dengan senang hati, ayahnya mengantarkan anaknya menikah di Gereja Katolik tanpa perlu pindah agama. Dulunya, ayahnya adalah seorang Kristen Protestan yang masuk Islam karena menikah dengan ibunya.

Aku mengikuti perjalanan cinta mereka. Beberapa kali, aku ikut membantu untuk menjawab setiap pertanyaan dan hujatan dari keluarga yang menentang pernikahan mereka.

Seorang yang sedang berusaha mengikuti laku sebagai seorang Sophia Perennis sepertiku, memang tidak memiliki masalah yang ada hubungannya dengan syariat pernikahan beda agama. Tentu saja, ada banyak sekali orang yang bilang betapa salahnya pandanganku. Betapa kelirunya pilihan hidup yang aku pilih.

Tapi, aku meyakini, bukankah tiap orang sedang menjalani Dharmanya masing-masing? Jika memungkiri konsekuensi pengetahuanku, alih-alih menjalankan dharma, aku malah menjalankan adharma.

Aku menerima risiko apa kata orang terhadap apa yang aku lakukan dengan hati gembira. Aku memaklumi, beberapa orang yang menghujatku memang senang menjadi juru bicara kebenaran "tuhan" yang diyakininya. Aku sih tak pernah memaksa mereka meyakini apa yang aku yakini.

Orang yang pernah dekat denganku pernah cerita bahwa beberapa kali dia berpisah karena agama dengan orang yang dia cintai. Aku sangat sedih mendengarnya. Rasanya aku ingin hadir di masa lalunya dan meyakinkan orang yang dicintainya agar tak perlu merasa berdosa mencintai orang yang berbeda iman. Cinta itu indah. Agama dan kasih Tuhan juga indah. Keindahan hanya akan bersatu dengan sesamanya. Kenapa harus ada perpisahan karena agama?

Yang aku yakini, Tuhan yang disebut dengan berbagai nama, Tuhan seluruh umat manusia, telah memberikan potensi cinta pada siapa saja tanpa memandang agamanya apa.

Kita hanya perlu menjaga pijarnya, agar jadi terang bagi sesama.

(Sumber: http://syaharbanu.blogspot.com/2015/07/ketika-aku-jadi-saksi-kanonik.html)

Jumat, 03 Juli 2015

Persekutuan Kristiani Tidak Bisa Dibangun Tanpa Hikmat


Ketua Majelis Jemaat, GPIB Jemaat Immanuel Depok, Pdt. DR. Alexius Letlora, S.th, M.Min sedang membawakan firman Tuhan pada Ibadah Raya Perdana Oikoumene se- Grand Depok City, Depok yang berlangsung Sabtu (20/6) petang di Depok.[Foto-Foto: Farida Denura]

DEPOK - Ketua Majelis Jemaat, GPIB Jemaat Immanuel Depok, Pdt. DR. Alexius Letlora, S.th, M.Min ketika membawakan firman Tuhan pada Ibadah Raya Perdana Oikoumene se- Grand Depok City, Depok yang berlangsung Sabtu (20/6) petang di Depok menegaskan bahwa persekutuan Kristiani tidak bisa dibangun tanpa hikmat.

Mengutip Surat Paulus kepada Jemaat Korintus, 1 Korintus 2:1-5, Pdt. Alexius yang juga Ketua Umum MPH PGIS Masa Bakti 2011-2016 lebih lanjut mengatakan hikmat itu dikatakan sebagai hidup takut akan Tuhan, awal dari pengetahuan (knowledge) dan itu dia sangat dekat pemahamannya dengan hikmat, wisdom
 
“Bedakah knowledge dengan wisdom? Tidak. Kalau pengetahuan itu bagaikan sebuah kapal maka wisdom (hikmat) itu bagaikan kompas agar kapal itu menuju ke pelabuhan yang sudah ditetapkan,”Pdt Alexius mengibaratkannya. 
 
Pdt. Alexius berharap kepada umat Kristiani di persekutuan ini agar di tengah-tengah atmosfer kejahatan yang luar biasa seperti sekarang ini, anak-anak Tuhan di GDC harus bersatu. Dan kalau bersatu, bukan sekedar bersatu. Mereka bersatu menjadi persekutuan yang juga punya knowledge, berpengetahuan pada firman Tuhan. 
 
Pdt. DR. Alexius Letlora, S.th, M.Min
“Persekutuan itu kalau dibangun dasarnya bukan Firman Tuhan, sebentar ketemu pergumulan sedikit, bubar. Dia juga tidak militan, tidak bergerak, tidak mengakar. Karena itu diperlukan anak-anak Tuhan yang senantiasa hadir dengan pengetahuan firman Tuhan. Jadi alkitab itu dibaca, direnungkan. Kita harus belajar dan diperkuat oleh firman Tuhan. Hanya dengan begitu dimungkinkan kita memiliki hikmat. Hikmat itu bagai pisau operasi yang kecil dan tajam. Itulah hikmat. Hikmat itu kecil tapi tajam. Di balik segala fenomena dan kecenderungan kemana persekutuan ini harus berjalan, ke arah mana persekutuan itu harus berjalan,”lanjut Pdt. Alexius. 

Dengan begitu maka di tengah-tengah gagasan, pendapat, dan pengetahuan dunia yang merusak maka menurut dia gereja hadir dengan kewibaan ilahi dan menyatakan tugas panggilannya sebagai persekutuan yang menghadirkan damai sejahtera dan hari esok yang penuh pengharapan.

Persekutuan yang dibangun kata Paulus seperti dikutip pada 1 Korintus 2:5 dikatakan bahwa “supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah”. Ini menurut Pdt Alexius bahwa supaya ketika kita hadir sebagai persekutuan yang kemudian diikat dalam aktivitas kegiatan yang memberikan kesaksian di dunia ini dan di setiap kesaksian itu mereka berani dan hadir mengatakan bahwa Yesus Kristus yang utama dan terutama.

Pdt Alexius mengumpamakan pelayan setia dengan sosok sang Valet. “Jika kita hendak parkir di mall, dan malas mencari tempat parkir sendiri, kita bisa menggunakan jasa valet parking. Valet sebenarnya menunjuk pada orang yang memarkirkan. Berakar dari bahasa Latin Vassus, diturunkan ke bahasa Prancis dan Inggris "Valet" berarti asisten atau pelayan laki-laki. Seorang valet adalah seorang yang siap melayani (tuannya),”umpamanya.


Paduan Suara FUK GDC membawakan pujian.
Dikatakan dia, seorang yang datang dan hadir harus sebagai sebagai pelayan setia, abdi Allah, anak-anak Tuhan yang hadir dan berarti dalam kesetiaan total kepada Kristus. Dan, yang melayani sebagai abdi yang setia sehingga persekutuan itu menjadi persekutuan yang dilandasi dengan semangat yang sama bahwa kita saling melayani.

“Kita hadir dan tidak dibatasi oleh berbagai denominasi. Kita menjadi anak-anak Allah yang paham betul bahwa hidup sebagai murid-murid Kristus tidak bisa tidak bisa tidak adalah hidup dengan militansi yang baik,”ujarnya.

Ini menurut dia menunjukan bahwa menjadi anak-anak Tuhan yang mengarah kepada Kristuslah yang membuat kita dipersatukan. Dalam kesatuan seperti itu betapa indahnya karena jemaat di Korintus kemudian menjadi jemaat yang solid, menjadi jemaat yang membantu umat Tuhan di Yerusalem, menjadi umat yang terus menerus hadir sebagai persekutuan yang luar biasa melewati tantangan dan cobaan. Dan dalam konteks seperti itu kita menjadi umat Tuhan yang tidak pernah putus asa di tengah ajaran-ajaran seperti hedonisme, konsumtif dan lain-lain.

Ajaran-ajaran tersebut menurut dia merupakan godaan dan salah satu bentuk yang paling sederhana dari eksploitasi rasa kekurangan yang dimiliki manusia, dengan luar biasa dipakai. Dan segala yang dipergunakan kita hidup dengan pengaruh yang begitu dashyat. 

Anak-anak Tuhan kita menurut Pdt Alexius harus punya knowledge. Jika knowledge itu dituntun oleh wisdom maka persekutuan kita menjadi persekutuan yang tidak hanya ada di dalam dunia tapi kami tidak sama dengan dunia. Maju terus di dalam persekutuan ini dan total dalam persekutuanmu dengan Tuhan.

Wadah Kesehatian
Ketua Forum Umat Kristiani Grand Depok City (FUK GDC), Wirawan Dwi Oetomo sedang memberikan sambutan.

Ketua Forum Umat Kristiani Grand Depok City (FUK GDC), Wirawan Dwi Oetomo dalam sambutan juga menegaskan kebersamaan, kesehatian warga Kristiani untuk bersekutu bersama melalui Persekutuan Oikoumene Grand Depok City.

Ibadah raya perdana yang digelar tersebut menurut Wirawan bukan suatu kebetulan melainkan sebuah rencana Tuhan untuk menghimpun umat Kristiani antar denominasi yang ada di 16 cluster GDC Depok untuk berhimpun bersama, bersekutu memuji dan memuliakan Tuhan Yesus.

“Sebagai bagian dari umat Kristiani yang ada di GDC, saya melihat ada semangat yang sama dari umat Kristiani di sini agar terbentuk persekutuan Kristiani yang bersifat oikoumenis,”ujar Wirawan. 

Lebih lanjut Wirawan mengatakan sekalipun umat Kristiani dari GDC berasal dari berbagai denominasi gereja yang berbeda-beda, maupun suku yang berbeda namun tetap satu yaitu sebagai anak Allah yang sudah memperolah keselamatan dari Tuhan Yesus Kristus yang menjadi garam dan terang dunia khususnya di GDC dan sekitarnya yang sangat majemuk. 

Selain itu,Wirawan berharap agar umat Kristiani di GDC juga harus menjaga kearifan lokal dan bisa bekerjasama dengan masyarakat lokal dan sekitar tempat domisili atau tempat ibadahnya. Ke depannya, kata Wirawan agar cluster-cluster yang belum membentuk persekutuan-persekutuan oikoumene agar segera membentuknya.

Ketua POA, DR Wilson Rajagukguk
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Persekutuan Oikumene Alamanda (POA), DR Wilson Rajagukguk, menjelaskan bahwa POA merupakan satu-satunya persekutuan oikoumene di GDC yang telah lama hadir dan Juni 2015 ini, genap berusia 5 tahun. 
 
POA, kata Pak Wilson, merupakan sebuah Persekutuan yang benar-benar bersifat Oikoumenis. Semua yang hadir dan bersekutu adalah anak-anak Tuhan Yesus yang menanggalkan Gereja masing-masing dan bersekutu dalam nama Yesus dan tak pandang dari Gereja mana.

Dalam ibadah perdana ini jelas Wilson, POA dipercayakan sebagai penanggung jawab kegiatan dan semuanya dipersiapkan dengan baik mulai dari tata ibadah, puji-pujian dan kegiatan lainnya.

Wilson berharap persekutuan yang bersifat oikoumene itulah harus menjadi ciri khas umat Kristiani yang tinggal di GDC dengan berbagai latar belakang gereja. 
 

Sebagian anak-anak Kristiani Grand Depok City mempersembahkan angklung, biola dan lagu usai Doa Pembuka pada Ibadah Raya Perdana Oikoumene se- Grand Depok City, Depok yang berlangsung Sabtu (20/6) petang di Depok.
Ibadah Raya Perdana Oikoumene se- Grand Depok City ini dihadiri sekitar 150 jemaat dari berbagai denominasi gereja yang tinggal di Grand Depok City, Depok. Selain Pdt. Alexius, panitia juga mengundang hadir Pendeta Emeritus Djoko Sulistyo (GKJ Eben Haezeer Pasar Minggu), Sintua Gultom (mewakili HKBP Kalimulya), Pdt. Bambang Soemardji (GBI GDC) dan juga Pastor Paroki St. Paulus Depok, namun berhalangan hadir. 
 
Ibadah raya yang mengusung tema: “Supaya Mereka Semua Menjadi Satu” (Yoh. 17:20-23) ini juga dimeriahkan dengan persembahan puji-pujian dari Paduan Suara FUK GDC, Paduan Suara HKBP Kalimulya, Paduan Suara GBI GDC, sajian angklung, biola, dan pujian dari anak-anak Kristiani GDC, berjudul “Jesus Love Me”  serta persembahan pujian "Karya Kemenangan-NYA" yang dibawakan Melky Lohi. Communio et Progressio! (Persekutuan dan Kemajuan). [Farida Denura]