Translate

Rabu, 29 Januari 2014

Romo Tauchen: "Jadi Bintang di Usia Setahun"


JADI BINTANG—Pastor Kepala Paroki St Paulus Depok, Romo Tauchen Hotlan Girsang OFM sedang kotbah. Dalam kotbahnya Romo Tauchen menegaskan wilayah ini menjadi bintang. [Foto-Foto: Budi Panca & Farida Denura]


PADA hari Selasa, 14 Januari 2014 lalu, Wilayah St Stefanus, Paroki St. Paulus Depok merayakan Pesta Nama St Stefanus yang menjadi Santo Pelindung wilayah baru hasil pemekaran dari Wilayah St. Ignatius Loyola (Ignola) yang diresmikan dalam misa kudus pada Jumat 19 Oktober 2012 lalu di gedung Sasono Mulyo, Depok.

Pesta Nama Wilayah dan juga Perayaan Natal dan Tahun Baru Bersama 2014  tersebut diawali dengan misa yang dipimpin Romo Tauchen Hotlan Girsang, OFM, Pastor Kepala Paroki St Paulus Depok yang akhir Januari 2014 berpindah tugas di Pagal, Manggarai, Flores, NTT. Sebelum misa dimulai sekitar 150 warga wilayah St Stefanus dari Komunitas Umat Basis (KUB) A, B, dan C telah hadir memenuhi gedung Sasono Mulyo yang terletak di Jl. Jatimulya No.30 Kel. Jatimulya Cilodong.
   
Romo Tauchen dalam kotbahnya mengutip kisah 3 Raja yang datang
Warga Stefanus & para tamu tampak khusuk.
menyembah Yesus. Ketiga Raja tersebut adalah Melkior, Gaspar, dan Baltasar. Mereka adalah orang-orang majus, para ahli perbintangan. Mereka datang dari latar belakang yang berbeda, mewakili generasi yang berbeda. Persembahan yang mereka bawa pun berbeda. Semuanya mengarah pada tiga sifat dari tugas  pekerjaan utama Yesus.
   
Dalam kesempatan tersebut Romo Tauchen mengharapkan anak-anak di wilayah St Stefanus untuk menjadi bintang. Romo juga mengajak semua warga di wilayah St Stefanus untuk menjadi bintang. Artinya, setiap warga menjadi petunjuk supaya sampai ke Tuhan Yesus.
   
“Menjadi petunjuk sudah dilakukan di tempat ini. Engkau wilayah St Stefanus bukanlah yang terkecil di Paroki St Paulus Depok. Dan ini tidak terlepas dari begitu banyaknya saudara-saudara yang ada di wilayah ini untuk menjadi bintang, membawa orang lain untuk menghadap Yesus,”tegas Romo Tauchen.
   
Lebih lanjut Romo Tauchen mengatakan jika tiga Raja dari Timur membawa  persembuah berupa Emas, Dupa, dan Mur, maka berbeda dengan warga di wilayah St Stefanus yang membawa 3 persembahan menghadap Yesus berupa Semangat, Kerjasama/Kekompakan, dan Peran Serta dalam Kegiatan.
   
Dikatakan Romo Tauchen, persembahan Wilayah Stefanus berupa Semangat, sangat mencolok dilakukan warga wilayah St Stefanus dalam kegiatan di
Lagu-lagu Natal pun bergema.
Paroki, Wilayah maupun pada perayaan pesta nama yang diselenggarakan hari ini.
   
“Semangat yang luar biasa yang dipersembahkan, pasti bernilai. Koor selalu penuh sampai kami pesan kursi karena kursi bertambah. Kita bangga dengan wilayah ini. Semangat ini tetap dipertahankan, makaakan tetap jadi bintang,”puji Romo Tauchen.
   
Persembahan kedua adalah kerjasama dan kekompakan. Persembahan inilah kata Romo Tauchen yang juga dipersembahkan oleh wilayah ini kepada Tuhan Yesus. Kekompakan tampak terlihat mulai dari bayi hingga yang sudah tua pun datang ke sini. Ini tambah dia menunjukkan kekompakan yang luar biasa.
   
“Saudaranya, Wilayah St Ignatius Loyola pun tidak kalah semangat. Saya lihat ada sejumlah bintang wilayah ini hadir dalam perayaan ini,”katanya.
   
Persembahan ketiga warga wilayah St Stefanus adalah peran serta dalam kegiatan dimana setiap warga selalu hadir walaupun bukan pengurus. Hadirnya seorang umat menjadi bagus. Kehadiran itu terus-menerus tambah Romo Tauchen dipersembahkan dan ini menurut dia bermakna.
   
“Mati hidupnya suatu wilayah sangat tergantung dengan kehadiran kita semua,”ujar Romo Tauchen.
   
Wilayah St Stefanus menurut Romo Tauchen  telah mempersembahkan
Warga Stefanus kompak dalam foto bersama
semangat, kekompakan, juga partisipasi dan kehadiran. Kehadiran yang tua masih sangat dibutuhkan orang muda di wilayah ini. Wilayah St Stefanus tegas Romo Tauchen bukanlah terkecil di Paroki St. Paulus Depok.
   
Misa juga dimeriahkan dengan pujian-pujian Natal yang dilantunkan Stefanus Choir dengan dirigen Endang Rosalina Jempormasse. Pujian-pujian tersebut adalah pujian-pujian yang dilantunkan dalam koor Natal perdana wilayah St Stefanus pada misa malam Natal pertama, 24 Desember 2013.
   
Wilayah St Stefanus merupakan wilayah ke-18 dan wilayah termuda serta saat ini menjadi wilayah paling bungsu di paroki St Paulus Depok. Wilayah ini memiliki 3 Komunitas Umat Basis (KUB) terdiri dari A,B, dan C dimana warganya sebagian besar bermukim di berbagai kluster di komplek perumahan Grand Depok City, Depok.

Tempat Persemaian
Ketua Panitia Pesta Nama dan juga Natal dan Tahun Bersama Wilayah St Stefanus, Adrianus Angkur dalam laporan Ketua Panitia menjelaskan tentang tema yang diusung dalam acara tersebut yaitu “Bertumbuh Dalam Iman dan Komunitas Persaudaraan Sejati”.
   
Tema tersebut dipilih, mengingat  wilayah St Stefanus masih baru dan untuk
Jadi tempat persemaian anak-anak.
bisa tumbuh, diperlukan nutrisi persaudaraan yang tulus atau sejati. Dengan persaudaraan yang tulus atau sejati kita bersama-sama membangun wilayah ini dengan penuh iman, bahwa suatu saat wilayah ini akan menjadi tempat persemaian umat yang tangguh iman dan keyakinannya seperti St Stefanus.
   
“Tadi Romo sampaikan agar wilayah St Stefanus dapat menjadi bintang. Kami di wilayah ini juga mempunyai suatu harapan mudah-mudahan ini menjadi tempat persemaian anak-anak kita tumbuhnya benih-benih panggilan, tempat tumbuhnya secara tulus persaudaraaan sejati,”terang Adrianus.
   
Acara ini tambah Adrianus tidak semata perayaan melainkan sebagai harapan setelah setahun terbentuknya wilayah St Stefanus. Tumbuhnya semangat dan
Romo Tauchen tampak menerima bingkisan.
antusiasme para warga yang ambil bagian baik di tingkat Paroki, wilayah maupun di KUB.
   
Dalam kesempatan tersebut Adrianus juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh warga wilayah St Stefanus yang telah berpartisipasi menyukseskan acara. Secara khusus ucapan terima kasih disampaikan ke donatur acara tersebut yaitu Cathy Cristopher yang juga warga di KUB A.
   
Adrianus juga berharap semoga wilayah St Stefanus ini menjadi rumah tumbuhnya imsn, dan persaudaran sejati.
   
Sementara Ketua Wilayah St Stefanus, Thomas Tommy Hendrasmoro dalam sambutannya memuji Ketua-Ketua KUB serta seluruh warga wilayah St Stefanus. “Warga di wilayah  baru ini dan Ketua-Ketua KUB hebat-hebat. Semoga di tahun ini maupun tahun yang akan datang semakin kompak dalam pelayanan khususunya untuk wilayah dan gereja,”katanya.

Dimeriahan Anak-Anak 
Koordinator Seksi Acara, Merry Martens menjelaskan acara yang dikemas
Anak-anak BIA & BIR memainkan angklung.
dalam acara tersebut melibatkan dua generasi yaitu orangtua dan anak-anak. Namun, mayoritas penampilan adalah anak-anak-anak dan remaja berusia antara 5-12 tahun. Atau, dari tingkat SD dan SMP. Para orangtua lebih berperan pada setting acara.
   
“Untuk drama Natal dikomandoi Pak Hengky dan Ibu Santi. Untuk penampilan kesenian Angklung dan keyboard dikomandoi Pak Nugroho dibantu Ibu Santy. Puisi oleh Pak Danet dan Ibu Lucy Happy. Tarian oleh Ibu Lucy dan Ibu Agatha dan para remaja. Sedangkan untuk kostum dibidani oleh Ibu Lucy. Ibu Lucy adalah perancang kostum, penyedia materi kostum, dan pembuat (menjahitkan) kostum sesuai karakter pemain atau penari masing-masing. Keterlibatan orangtua lainnya, penataan panggung seperti taman, gua Natal dikerjakan Pak Tommy dan Pak Nico. Sebagian warga juga seperti Ibu Lini, memberi sumbangan dalam bentuk buku-buku yang dibagikan saat acara berlangsung yang dikemas dalam bentuk doorprize. Untuk kaleideoskop disusun Pak Happy dan Ibu Lucy,”jelas Merry.
   
Merry menambahkan, lama latihan bervariasi. Untuk drama misalnya, anak-anak berlatih selama 4 bulan, sejak September 2013 hingga H-1
Vito & Rini sedang menggesek biola.
pementasan. Untuk puisi kurang lebih 1-2 bulan. Untuk tarian yang mengandung unsur kedaerahan (etnis) sekitar 1 bulan. Sementara untuk kesenian angklung dan lain-lain 2 bulan.
   
Konsep acara ini kata Merry, tidak merujuk kepada tema tertentu, akan tetapi rohnya adalah perayaan Natal. Maka, drama kellahiran Yesus, puisi dengan unsur Natal dan tarian yang berdasarkan pada lagu-lagu Natal.
   
“Acara kemarin memang lebih banyak melibatkan peran anak-anak dan remaja. Peran orangtua lebih banyak di belakang layar. Maka untuk melibatkan mereka agar terlibat dalam kegembiraan bersama, seksi acara berinisiatif mengemas doorprize sedemikian rupa sehingga tidak hanya 'membagi-bagi' hadiah tapi juga menciptakan konsep lewat games (permainan). Hal ini dimaksudkan agar para orangtua pun tidak hanya terhibur oleh penampilan anak-anak dan remaja saja, namun ikut bergembira dalam perayaan tersebut. Maksudnya acara doorprize kami kemas sedemikian rupa sehingga ada permainan 'khusus' hanya untuk para orangtua,” jelas Merry.

Kue Tar ultah ke-1 siap dipotong menyusul tiup lilin. Tampak hadir: Romo Tauchen, Ibu Cathy, Pak Tommy. Ketua KUB A,B,C dan Ibu Endang.
Bentuk acara tersebut tambah dia dengan mengkreasi beberapa pertanyaan atau instruksi tertentu menjadi sebuah permainan bagi para oprang tua atau kalangan orang dewasa. Syukur konsep ini mampu menciptakan situasi yang 'berbeda'. Misalnya, sejak awal anak-anak dan remaja lebih berperan dan orangtua hanya sebagai 'penonton' tapi dengan doorprize present tree (pohon hadiah-Red), kaum dewasa pun menikmati kegembiraan perayaan tersebut.
   
Doorprize pun menurut Merry, dikemas dari berbagai materi, mulai dari buku-buku, alat tulis, benda-benda rohani, benda-benda kebutuhan, benda-benda kebutuhan rumah tangga, dan barang-barang lain yang menyangkut hobi. Paket doorprize sendiri sebanyak 30 paket disumbang beberapa warga seperti sumbangan buku karangan pribadi ibu Lucy Happy serta diupayakan seksi acara.
   
Dalam acara tersebut juga dilakukan pemotongan kue tar dan doa syukur. Kue tar yang dipotong kemudian dibagikan kepada Romo Tauchen, Cathy Christopher, 3 Ketua KUB (A,B,C), dan Endang Rosalina Jempormasse. Proficiat Wilayah St Stefanus dan Anda layak jadi bintang! (Farida Denura)

Jumat, 10 Januari 2014

Dari Bandung, Sebarkan Kerukunan Umat

Walikota Bandung Ridwan Kamil (memegang bendera merah putih) bersama Pastor Leo van Bourden OSC
BANDUNG (09/01/2014)-- Dari Bandung, Jawa Barat, kita mendengar kabar baik. Sehari sesudah Hari Raya Natal, Sang Walikota Mochamad Ridwan Kamil menyatakan keinginannya untuk menjadikan kota Bandung sebagai miniatur toleransi beragama. Keinginan itu ia ucapkan ketika menghadiri Open House Natal di Katedral St. Petrus, Bandung, bersama Forum Kerukunan Umat Beragama.

Kita sambut tekad Walikota Bandung itu dengan semangat memperbaiki hubungan antar-umat beragama yang banyak mengalami gangguan pasca reformasi. Indonesia yang plural, yang beragam, yang bhineka, memang wajib dijaga dan dipertahankan, terutama oleh pejabat publik yang sudah mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin.

Tentu pernyataan Ridwan Kamil ini masih harus diuji dalam praktik. Sebab sehari menjelang perayaan Natal, kita mendengar Jemaat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Bandung tak bisa menjalankan ibadahnya. Sebuah kelompok intoleran memberitahu kepolisian setempat agar tak mengizinkan jemaat GBKP menjalankan ibadat Natal. Alasannya, gereja tersebut tidak memiliki izin. Dan seperti biasa, kepolisian tak mau repot.

Di Jakarta kita juga membaca, jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi terpaksa menjalankan kebaktian Natal di depan Istana Negara. Tekanan kelompok intoleran memaksa mereka untuk terusir dari rumah Tuhan-nya. Ini adalah kali kedua sejak tahun lalu, mereka harus beribadah di depan kantor Presiden SBY. Tetapi, kita tahu, keluhan mereka tak pernah dihiraukan.

Kelompok minoritas lain yang juga acap mendapat persekusi adalah kelompok Syiah dan Ahmadiyah. Di Sampang, kelompok Syiah diserang dan diusir dari tempat tinggalnya. Sedangkan kelompok Ahmadiyah diserang di berbagai wilayah, antara lain di Mataram dan Bogor. Penyerangan paling tragis terhadap kelompok Ahmadiyah terjadi pada 6 Februari 2011 di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Dalam aksi penyerangan ini, 3 orang tewas mengenaskan.

Sederet peristiwa intoleransi lain masih panjang daftarnya. Seluruhnya menunjukkan betapa masalah gesekan horisontal ini sebenarnya tak boleh dibiarkan terus berlangsung. Penyebaran kebencian yang dilakukan kelompok-kelompok intoleran harus dihentikan. Aparat keamanan tak boleh melempem. Pejabat publik harus berdiri di depan menyelamatkan konstitusi yang digerogoti pelan-pelan.

Di sini, peran kepala daerah seperti Walikota Bandung Ridwan Kamil diperlukan. Tak boleh ada keraguan sedikit pun bagi para pemimpin untuk mencegah meluasnya tindakan intoleransi. Kebhinekaan sebagai kekayaan negeri mesti dijaga agar rumah keindonesiaan tetap nyaman bagi kehidupan bersama.

(Sumber: kbr68h.com)

Kamis, 09 Januari 2014

Paus Fransiskus, Paus Revolusioner

Paus Fransiskus (Foto-Foto: Ist)
HANYA dalam tempo sembilan bulan, sejak dipilihnya menjadi orang nomor satu di Vatikan, 13 Maret 2013, Paus Fransiskus mampu menjadi magnet dunia. Oleh karena kebijakan dan langkah-langkahnya mendobrak kemapanan Gereja. Revolusioner.

Dan, majalah Time pun memilihnya menjadi ”Person of the Year” (Tokoh Tahun Ini). Pada 1994, Paus Yohanes Paulus II dipilih sebagai ”Man of the Year” oleh majalah Time; sebelumnya, 1962, Paus Yohanes XXIII-lah yang dinobatkan sebagai ”Man of the Year” juga oleh majalah Time karena Paus inilah pemrakarsa Konsili Vatikan II, yang memperbaharui Gereja.

Sejak penampilannya pertama, setelah terpilih, di balkon Vatikan, Paus Fransiskus membuktikan dirinya sebagai ”Paus Yang Mengejutkan”. Sebagai Paus Jesuit pertama dalam sejarah, ia mencanangkan misinya untuk merestorasi otentisitas dan integritas Gereja Katolik yang digerogoti skandal seks, paedophilia, dan sekresi, intrik dan pertarungan di dalam, ambisi dan arogansi, hedonisme dan semangat menguasai dunia dalam arti yang sebenarnya.

Ia menyatakan, Gereja harus menjadi ”Gereja miskin, untuk kaum miskin”. Inilah, kredo Paus Fransiskus, yang kakek-moyangnya, imigran Italia, mendarat di Argentina pada 1929.

Nama Fransiskus
Mengapa mantan Kardinal Buenos Aires Jorge Mario Bergoglio ini memilih nama Fransiskus setelah terpilih menjadi Paus? Paul Vallely dalam bukunya, Pope Francis, Untying the Knots, menulis, bahkan para kardinal yang ikut konklav (sidang para kardinal untuk memilih Paus) pun kaget, ketika ditanya, ”Nama apa yang Anda pakai?” Waktu itu Bergoglio menjawab, ”Vocabor Franciscus” (Saya akan dipanggil Fransiskus). Bukan Fransiskus Xaverius, bukan Fransiskus de Sales, tetapi Fransiskus Asisi.

Fransiskus Asisi (disebut demikian karena dari Asisi, Italia bagian utara) adalah seorang imam anak saudagar kain yang kaya raya, tetapi menyerahkan hidupnya untuk kaum papa, kaum miskin. Inilah jalan hidup yang dipilih Kardinal Bergoglio sejak semula di Argentina. Ia meninggalkan istana kekardinalan dan memilih tinggal di rumah susun untuk kaum miskin. Ke mana-mana, ia naik bus, subway, mobilnya pun dijual.

Ketika meninggalkan Buenos Aires untuk pergi ke Roma, memenuhi panggilan Paus Benediktus XVI (yang berujung pada konklav), meski mendapat tiket ”first-class”, ia memilih menukarnya dengan tiket kelas ekonomi. Ia hanya minta duduk dekat pintu darurat agar bisa selonjor, selama penerbangan 13 jam. Awak pesawat Alitalia pun memberinya kursi nomor 25.

Langkah selanjutnya Paus pertama dari luar Eropa, setelah 1.200 tahun, ini tidak hanya membuat banyak kejutan, tetapi bahkan membuat banyak orang terbuka matanya akan kekurangan dan kelemahan Kuria (Kabinet) Roma, bahkan Gereja Katolik. Bukankah kesempurnaan manusia adalah mengetahui ketidaksempurnaannya? Begitu kata filsuf Augustinus.

Banyak orang terinspirasi cara pandangnya yang lugas, baru, spontan, dan segar dalam menghadapi berbagai persoalan Gereja dan kemanusiaan. Yang dilakukannya pun mendorong orang lain untuk mengikutinya, sekaligus membuat malu Gereja yang selama ini seperti berada di ”menara gading”, kurang berbaur dengan masyarakat.

Paus, sebagai penyandang nama Fransiskus, yang mengutamakan kesederhanaan hidup, keutamaan hidup, belarasa, pelayanan, memahami betul apa artinya melayani. Karena itu, ia sejak pertama terpilih tidak mau tinggal di Istana Kepausan. Ia memilih tinggal di ”guesthouse”, Casa Santa Marta, supaya tidak terkucilkan, dan bisa selalu bersama dengan yang lain.

Kepeduliannya kepada orang miskin, seperti yang sudah lama dihayati ketika masih menjadi kardinal di Buenos Aires, tetap dipegang teguh. Orang miskin memperoleh posisi istimewa di hatinya. Ia tidak peduli pada akibatnya. Paus pernah mengatakan, ”Kalau makan tidak habis dan dibuang-buang, itu sama saja merampok orang miskin.”

Citra Allah 
Sikap ini menegaskan pada pendiriannya yang memegang teguh teologi konservatif, yang membawa manusia ke fitrahnya, sebagai citra Allah, bukan teologi progresif. Sebab, teologi progresif itu pikiran orang elite; yang menganggap orang miskin itu hanya tahu iman dan makan, tidak tahu teologi. Hal itu seperti tecermin dalam ensiklik pertamanya, ”Gaudium Evangelii”, Kegembiraan Pewartaan.
Paus sadar dan paham bahwa kebutuhan dunia, umat, bukanlah rumusan teologi yang canggih, mbulet, melainkan sebuah praksis hidup yang nyata: kesederhanaan, kepedulian, kemurahan hati, belarasa, melawan segala kemegahan duniawi, dan tidak menggunakan agama sebagai selubung untuk melakukan tindakan tidak terpuji, amoral, termasuk korupsi.

Tidak diduga ribuan umat yang hadir di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, untuk mengikuti audiensi, ketika tiba-tiba Paus turun dari mobilnya dan memeluk seorang bocah kecil yang sakit, yang disable; orang tua yang duduk di kursi roda. Tidak pernah ada seorang Paus merayakan Misa Kamis Putih di penjara Casa del Marmo dan mencuci serta mencium kaki narapidana, laki maupun perempuan, hitam maupun putih, bertato dan bersih. Ada yang Kristen, Muslim, Ortodoks, bahkan atheis.

Sejak masih di Buenos Aires, hal itu sudah dilakukan. Ia rajin membesuk orang sakit dan pasien AIDS. Ia menyapanya. Ia memeluknya.

Membawa sapu
Itulah Paus Fransiskus yang masuk ke Vatikan membawa sapu, membersihkan Bank Vatikan yang korup, yang digunakan untuk pencucian uang, dan mereformasi Kuria Roma. Ia juga membongkar pelecehan seks dan paedophilia yang dilakukan sejumlah pastor.

Paus Fransiskus melihat bahwa Kuria Roma menjelma menjadi organisasi pemerintahan yang disibukkan urusan administratif. Akibatnya sisi pelayanan, pewartaan pastoral kurang mendapat tempat. Gereja makin sibuk dengan urusan duniawi yang menggiurkan.

Ia juga melihat dan merasakan, bahkan sejak lama, Gereja tak ubahnya korporasi yang dibelit skandal demi skandal. Gereja keropos bukan karena kuatnya atheisme, melainkan karena kelakuan anak-anaknya. Dan, reputasinya dilempar di meja judi, dipertaruhkan.

Paus Fransiskus melangkah mantap bahwa semua harus dibongkar, diperbaiki, dan didirikan bangunan baru. Gereja yang dari dulu sentralistis, diurai dan sistem kolegialitas mendapat tempat. Bahkan ditekankan.

Sikapnya terhadap kaum homoseksual pun membuat orang terkejut. ”Aku ini siapa, sehingga harus menghukum mereka,” katanya. Banyak persoalan Gereja mulai diurai, diselesaikan. Dan, pantas kalau ia disebut sebagai pengubah sejarah Gereja, dan akhirnya nanti sejarah umat manusia.

Trias Kuncahyono, Wartawan Senior harian Kompas
(Artikel ini telah dimuat di www.kompas.com pada 13 Desember 2013)