Oleh: Farida Denura, S.Sos, MM
PRAKTEK politik di ranah kekuasaan-politik kekuasaan-senantiasa dihubungkan dengan power to, yang merupakan kekuatan positif (dari kekuasaan) untuk melakukan segala kebijakan politik kenegaraan. Kekuasaan di arena politik sebagai power to dalam tawaran ilmuwan Jem Belshtam adalah politik kekuasaan dalam menyelesaikan persoalan kenegaraan dengan lebih memilih cara bernegosiasi, berunding, melobi dan kompromi.
Di samping itu, kekuasaan dalam politik senantiasa juga dihubungkan dengan power over, yaitu sesuatu yang dipandang oleh ilmuwan feminis, seperti Kate Millet, Marilyn French dan Shulamith Firestone - sebagai kekuatan negatif (dari kekuasaan). Ciri-cirinya adalah otoritatif, diskriminatif, pemaksaan kehendak, dan lain-lain. Inilah ciri khas praktek politik yang maskulin dalam arena kekuasaan yang senantiasa teridentifikasi dalam 'ruang' politik sepanjang sejarah peradaban.
Dengan kata lain, politik diskriminatif - pemaksaan kehendak inilah yang kemudian menggiring orang pada asumsi bahwa politik itu identik dengan kekuasaan dan kekuasaan itu identik dengan kekuatan - dalam arti persaingan. Dan persaingan adalah dunianya laki-laki, karena ia berwatak maskulin. Kelompok atau orang-orang yang lemah secara fisik, termasuk kaum perempuan yang secara fisik dengan segala stereotipe dianggap lemah, dikatakan tidak cocok bermain dalam arena politik kekuasaan.
Perjuangan Perempuan
Kini pola pikir seperti itulah yang membuat kaum perempuan menjadi makhluk yang termarjinal dalam politik. Dalam kampanye-kampanye politik, perempuan hanya dinilai sebagai penyumbang suara potensial ketimbang sebagai konstituen politik, sehingga isu-isu aktual seputar perempuan yang dilontarkan oleh parpol pun hanya sebatas meraup suara untuk pemenangan pemilu. Materi-materi yang dikedepankan parpol sangat jarang berbicara mengenai isu perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, kodrat perempuan, peran ganda perempuan, hak-hak perempuan bekerja, hak-hak reproduksi, dan lain-lain.
Boleh dikatakan bahwa sebagian besar parpol masih menempatkan perempuan dalam peran domestik atau masih bias gender dalam memandang permasalahan dan kepentingan perempuan. Hingga saat ini pun kita belum tahu dengan jelas platform parpol dalam Pemilu 2009 yang bersentuhan langsung dengan masalah-masalah perempuan. Kalaupun dalam platformnya menyebut masalah perempuan, ternyata ketika itu mereka belum memiliki kesepahaman yang komprehensif mengenai masalah perempuan.
Bukan hanya itu, dari kacamata para pejuang perempuan itu, dalam sidang-sidang di parlemen pun isu-isu krusial tentang perempuan tidak mendapatkan tempat yang cukup memadai. Untuk itu, mereka terus memperjuangkan agar terjadi peningkatan jumlah perempuan dalam 'forum-forum' politik pengambil keputusan; seperti di parlemen, jabatan-jabatan penting di parpol, bahkan juga dalam jabatan-jabatan eksekutif.
Sejatinya! Partisipasi politik perempuan dilihat sebagai keharusan untuk dapat ambil bagian penting dalam setiap kepentingan politik.Padahal, jika ditilik secara lebih saksama, sebenarnya ini merupakan potret paling kelam yang mencerminkan cinta diri (solipsisme) berlebihan dari para pencipta sejarah yang umumnya laki-laki yang sengaja menampilkan pandangan mereka yang senantiasa menyuarakan peradaban patriaki yang kadang-kadang penuh dengan pemaksaan kehendak itu.
Tetapi, yang menarik adalah di tengah perkembangan peradaban manusia dan bangsa yang terus maju, perjuangan kaum perempuan di ranah politik kekuasaan ini semakin menemukan sosok sejatinya dalam bangunan politik masyarakat yang masih kerap terjadinya kekuasaan politik maskulinitas yang mensubordinasikan perempuan tersebut. Dalam perjuangan itu, kaum perempuan senantiasa menegaskan dirinya sebagai entitas otonom dan mendesakkan agenda politik perempuan kepada parpol.
Bahwasanya, kepincangan yang memiriskan antara laki-laki dan perempuan telah menimbulkan berbagai kepentingan perempuan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara kerap terabaikan di setiap ranah kebijakan pengambilan keputusan di jalur politik, terutama di lingkungan parpol. Sehingga dalam proses perjuangan itu dimungkinkan terjadinya komunikasi kritis dan intensif di tengah masyarakat yang dapat menumbuhkan kesadaran dan pendewasaan perempuan sebagai salah satu subyek politik yang menentukan bangunan politik masyarakat.
Salah satu kejelian dari kalangan pejuang hak-hak politik perempuan hingga saat ini adalah dengan memperbandingkan quota representative yang telah dicapai negara lain. Ani Widyani Soetjipto, pengarang esai Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen, yang sudah diterbitkan menjadi buku Panduan Parlemen Indonesia, hasil karya API, menyimpulkan bahwa 'Konsep affirmative action terbukti ampuh untuk meningkatkan representatif jumlah perempuan di parlemen dan telah dilakukan oleh banyak negara di dunia".
Dalam buku tersebut, Ani menampilkan daftar jumlah anggota perempuan di parlemen di dunia, di mana Indonesia sebelum Pemilu 2004 peringkatnya masih rendah, yakni no. 74 dengan 8 persen. Pada umumnya terdapat peringkat rendah pada banyak negara berkembang. India dan Bangladesh punya anggota DPR perempuan sekitar 9 persen. Yang tertinggi di Swedia dengan 42 persen, di Belanda 36 persen.
Di Asia Pasifik, angka rata-ratanya 14,5 persen yang lebih tinggi sedikit ketimbang rata-rata di dunia. Tetapi, Indonesia dengan hanya 8 persen menskor lebih rendah dari pada Vietnam, China, Malaysia, Filipina, dan Laos. Tetapi, angka untuk Indonesia lebih baik daripada Singapura 6,5 persen dan Jepang 7,5 persen.Di samping itu, di Afrika, di zaman Nelson Mandela berkuasa, mereka menerapkan 30 persen bagi perempuan dalam lembaga eksekutif dan legislatif. Bahkan, China yang memberi quota 10 persen pada kaum perempuannya, dalam prakteknya malah bisa mencapai 26 persen. Australia malah tinggi sekali, yaitu memberi quota 50 persen. Partai Buruh Inggris juga 50 persen, India 35 persen dan Denmark 40 persen.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia kini? Itulah menariknya, di mana lewat perjuangan yang cukup taktis, hasilnya sudah dapat dilihat, di mana DPR pada Pemilu 2004 yang lalu sudah meloloskan UU Pemilu sebagai suatu kesepakatan maksimum dalam fraksi-fraksi DPR yang menetapkan quota 30 persen bagi perempuan untuk calon anggota legislatif, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Hanya saja muncul pertanyaan adalah bagaimana hal ini dalam prakteknya pada pemilu 2009 nanti? Tampaknya seperti dalam Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, soal quota representative dan affirmation action, misalnya, belum semua parpol sanggup menempatkan celegnya yang perempuan sesuai dengan quota 30 persen.
Namun, perlu dicatat bahwa perolehan quota 30 persen yang kini mesti dinikmati oleh para politisi perempuan ini akan menjadi sia-sia jika kaum perempuan tidak mengasah dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya sendiri. Karena, komunitas politik kita di legislatif, misalnya, tidak bisa hanya diisi oleh perempuan yang tidak berkualitas politik, dan masuknya kaum perempuan di komunitas politik hanya karena ingin memenuhi quota perempuan.
Demokrasi dan kualitas SDM
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh masyarakat, bangsa dan negara dalam usaha memajukan kualitas politik kaum perempuan. Pertama adalah bangunan budaya politik rakyat sekaligus juga pendidikan politik rakyat. Artinya, peningkatan pendidikan politik rakyat hanya bisa terjadi jika bangunan budaya politik rakyat lebih dulu dibangun dan dikembangkan. Adalah bangunan budaya patriakal yang umumnya dianut bangsa ini harus segera dikelola lagi dengan bangunan-bangunan budaya yang lebih memerhatikan masalah-masalah kesetaraan gender. Kedua, dalam suasana kehangatan membangun dan mengembangkan kehidupan yang demokratis, peran negara dan mayoritas masyarakat dalam strata atau struktur sosial budaya dan politik apa pun, sebaiknya diposisikan secara pas dalam kerangka kehidupan yang berkeadilan.
Kehidupan yang berkeadilan adalah kehidupan yang tanpa diskriminasi. Kehidupan yang penuh diskriminasi dalam sosial kemasyarakatan, akan sangat berpengaruh pada kehidupan politik yang melibatkan kaum perempuan. Kehidupan yang berkeadilan yang saling menghormati, tanpa diskriminasi dan pemaksaan kehendak mesti tertuang dalam 'album' demokrasi. Karena memang, suatu tuntutan dalam 'album' demokratisasi adalah suatu proses di mana tidak ada lagi kesenjangan antara mereka yang terlalu berkuasa dan mereka yang selalu diabaikan.
Sinkronisasi atau sinergi antara kedua kelompok, yang kuat dan yang lemah menjadi tuntutan dalam demokratisasi tersebut. William Connolly dalam bukunya Politic and Ambiguity, (1987), menulis, kehidupan politik modern yang demokratik dan beradab senantiasa membantu dan membuka peluang bagi golongan yang kurang berkuasa dan termarjinalisasikan untuk menemukan suaranya sendiri dan mungkin juga untuk mengembangkan lingkup (space), di mana ia dapat menjadi dirinya sendiri dan bukan semata-mata mengabdi kekuasaan yang ada.*
(Penulis adalah Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan, PP Pemuda Katolik Periode 2006-2009).
Diterbitkan di Harian Umum Pos Kupang, Edisi Rabu, 06 Agustus 2008]
PRAKTEK politik di ranah kekuasaan-politik kekuasaan-senantiasa dihubungkan dengan power to, yang merupakan kekuatan positif (dari kekuasaan) untuk melakukan segala kebijakan politik kenegaraan. Kekuasaan di arena politik sebagai power to dalam tawaran ilmuwan Jem Belshtam adalah politik kekuasaan dalam menyelesaikan persoalan kenegaraan dengan lebih memilih cara bernegosiasi, berunding, melobi dan kompromi.
Di samping itu, kekuasaan dalam politik senantiasa juga dihubungkan dengan power over, yaitu sesuatu yang dipandang oleh ilmuwan feminis, seperti Kate Millet, Marilyn French dan Shulamith Firestone - sebagai kekuatan negatif (dari kekuasaan). Ciri-cirinya adalah otoritatif, diskriminatif, pemaksaan kehendak, dan lain-lain. Inilah ciri khas praktek politik yang maskulin dalam arena kekuasaan yang senantiasa teridentifikasi dalam 'ruang' politik sepanjang sejarah peradaban.
Dengan kata lain, politik diskriminatif - pemaksaan kehendak inilah yang kemudian menggiring orang pada asumsi bahwa politik itu identik dengan kekuasaan dan kekuasaan itu identik dengan kekuatan - dalam arti persaingan. Dan persaingan adalah dunianya laki-laki, karena ia berwatak maskulin. Kelompok atau orang-orang yang lemah secara fisik, termasuk kaum perempuan yang secara fisik dengan segala stereotipe dianggap lemah, dikatakan tidak cocok bermain dalam arena politik kekuasaan.
Perjuangan Perempuan
Kini pola pikir seperti itulah yang membuat kaum perempuan menjadi makhluk yang termarjinal dalam politik. Dalam kampanye-kampanye politik, perempuan hanya dinilai sebagai penyumbang suara potensial ketimbang sebagai konstituen politik, sehingga isu-isu aktual seputar perempuan yang dilontarkan oleh parpol pun hanya sebatas meraup suara untuk pemenangan pemilu. Materi-materi yang dikedepankan parpol sangat jarang berbicara mengenai isu perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, kodrat perempuan, peran ganda perempuan, hak-hak perempuan bekerja, hak-hak reproduksi, dan lain-lain.
Boleh dikatakan bahwa sebagian besar parpol masih menempatkan perempuan dalam peran domestik atau masih bias gender dalam memandang permasalahan dan kepentingan perempuan. Hingga saat ini pun kita belum tahu dengan jelas platform parpol dalam Pemilu 2009 yang bersentuhan langsung dengan masalah-masalah perempuan. Kalaupun dalam platformnya menyebut masalah perempuan, ternyata ketika itu mereka belum memiliki kesepahaman yang komprehensif mengenai masalah perempuan.
Bukan hanya itu, dari kacamata para pejuang perempuan itu, dalam sidang-sidang di parlemen pun isu-isu krusial tentang perempuan tidak mendapatkan tempat yang cukup memadai. Untuk itu, mereka terus memperjuangkan agar terjadi peningkatan jumlah perempuan dalam 'forum-forum' politik pengambil keputusan; seperti di parlemen, jabatan-jabatan penting di parpol, bahkan juga dalam jabatan-jabatan eksekutif.
Sejatinya! Partisipasi politik perempuan dilihat sebagai keharusan untuk dapat ambil bagian penting dalam setiap kepentingan politik.Padahal, jika ditilik secara lebih saksama, sebenarnya ini merupakan potret paling kelam yang mencerminkan cinta diri (solipsisme) berlebihan dari para pencipta sejarah yang umumnya laki-laki yang sengaja menampilkan pandangan mereka yang senantiasa menyuarakan peradaban patriaki yang kadang-kadang penuh dengan pemaksaan kehendak itu.
Tetapi, yang menarik adalah di tengah perkembangan peradaban manusia dan bangsa yang terus maju, perjuangan kaum perempuan di ranah politik kekuasaan ini semakin menemukan sosok sejatinya dalam bangunan politik masyarakat yang masih kerap terjadinya kekuasaan politik maskulinitas yang mensubordinasikan perempuan tersebut. Dalam perjuangan itu, kaum perempuan senantiasa menegaskan dirinya sebagai entitas otonom dan mendesakkan agenda politik perempuan kepada parpol.
Bahwasanya, kepincangan yang memiriskan antara laki-laki dan perempuan telah menimbulkan berbagai kepentingan perempuan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara kerap terabaikan di setiap ranah kebijakan pengambilan keputusan di jalur politik, terutama di lingkungan parpol. Sehingga dalam proses perjuangan itu dimungkinkan terjadinya komunikasi kritis dan intensif di tengah masyarakat yang dapat menumbuhkan kesadaran dan pendewasaan perempuan sebagai salah satu subyek politik yang menentukan bangunan politik masyarakat.
Salah satu kejelian dari kalangan pejuang hak-hak politik perempuan hingga saat ini adalah dengan memperbandingkan quota representative yang telah dicapai negara lain. Ani Widyani Soetjipto, pengarang esai Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen, yang sudah diterbitkan menjadi buku Panduan Parlemen Indonesia, hasil karya API, menyimpulkan bahwa 'Konsep affirmative action terbukti ampuh untuk meningkatkan representatif jumlah perempuan di parlemen dan telah dilakukan oleh banyak negara di dunia".
Dalam buku tersebut, Ani menampilkan daftar jumlah anggota perempuan di parlemen di dunia, di mana Indonesia sebelum Pemilu 2004 peringkatnya masih rendah, yakni no. 74 dengan 8 persen. Pada umumnya terdapat peringkat rendah pada banyak negara berkembang. India dan Bangladesh punya anggota DPR perempuan sekitar 9 persen. Yang tertinggi di Swedia dengan 42 persen, di Belanda 36 persen.
Di Asia Pasifik, angka rata-ratanya 14,5 persen yang lebih tinggi sedikit ketimbang rata-rata di dunia. Tetapi, Indonesia dengan hanya 8 persen menskor lebih rendah dari pada Vietnam, China, Malaysia, Filipina, dan Laos. Tetapi, angka untuk Indonesia lebih baik daripada Singapura 6,5 persen dan Jepang 7,5 persen.Di samping itu, di Afrika, di zaman Nelson Mandela berkuasa, mereka menerapkan 30 persen bagi perempuan dalam lembaga eksekutif dan legislatif. Bahkan, China yang memberi quota 10 persen pada kaum perempuannya, dalam prakteknya malah bisa mencapai 26 persen. Australia malah tinggi sekali, yaitu memberi quota 50 persen. Partai Buruh Inggris juga 50 persen, India 35 persen dan Denmark 40 persen.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia kini? Itulah menariknya, di mana lewat perjuangan yang cukup taktis, hasilnya sudah dapat dilihat, di mana DPR pada Pemilu 2004 yang lalu sudah meloloskan UU Pemilu sebagai suatu kesepakatan maksimum dalam fraksi-fraksi DPR yang menetapkan quota 30 persen bagi perempuan untuk calon anggota legislatif, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Hanya saja muncul pertanyaan adalah bagaimana hal ini dalam prakteknya pada pemilu 2009 nanti? Tampaknya seperti dalam Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, soal quota representative dan affirmation action, misalnya, belum semua parpol sanggup menempatkan celegnya yang perempuan sesuai dengan quota 30 persen.
Namun, perlu dicatat bahwa perolehan quota 30 persen yang kini mesti dinikmati oleh para politisi perempuan ini akan menjadi sia-sia jika kaum perempuan tidak mengasah dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya sendiri. Karena, komunitas politik kita di legislatif, misalnya, tidak bisa hanya diisi oleh perempuan yang tidak berkualitas politik, dan masuknya kaum perempuan di komunitas politik hanya karena ingin memenuhi quota perempuan.
Demokrasi dan kualitas SDM
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh masyarakat, bangsa dan negara dalam usaha memajukan kualitas politik kaum perempuan. Pertama adalah bangunan budaya politik rakyat sekaligus juga pendidikan politik rakyat. Artinya, peningkatan pendidikan politik rakyat hanya bisa terjadi jika bangunan budaya politik rakyat lebih dulu dibangun dan dikembangkan. Adalah bangunan budaya patriakal yang umumnya dianut bangsa ini harus segera dikelola lagi dengan bangunan-bangunan budaya yang lebih memerhatikan masalah-masalah kesetaraan gender. Kedua, dalam suasana kehangatan membangun dan mengembangkan kehidupan yang demokratis, peran negara dan mayoritas masyarakat dalam strata atau struktur sosial budaya dan politik apa pun, sebaiknya diposisikan secara pas dalam kerangka kehidupan yang berkeadilan.
Kehidupan yang berkeadilan adalah kehidupan yang tanpa diskriminasi. Kehidupan yang penuh diskriminasi dalam sosial kemasyarakatan, akan sangat berpengaruh pada kehidupan politik yang melibatkan kaum perempuan. Kehidupan yang berkeadilan yang saling menghormati, tanpa diskriminasi dan pemaksaan kehendak mesti tertuang dalam 'album' demokrasi. Karena memang, suatu tuntutan dalam 'album' demokratisasi adalah suatu proses di mana tidak ada lagi kesenjangan antara mereka yang terlalu berkuasa dan mereka yang selalu diabaikan.
Sinkronisasi atau sinergi antara kedua kelompok, yang kuat dan yang lemah menjadi tuntutan dalam demokratisasi tersebut. William Connolly dalam bukunya Politic and Ambiguity, (1987), menulis, kehidupan politik modern yang demokratik dan beradab senantiasa membantu dan membuka peluang bagi golongan yang kurang berkuasa dan termarjinalisasikan untuk menemukan suaranya sendiri dan mungkin juga untuk mengembangkan lingkup (space), di mana ia dapat menjadi dirinya sendiri dan bukan semata-mata mengabdi kekuasaan yang ada.*
(Penulis adalah Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan, PP Pemuda Katolik Periode 2006-2009).
Diterbitkan di Harian Umum Pos Kupang, Edisi Rabu, 06 Agustus 2008]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar