Translate

Jumat, 28 Maret 2014

Romo Yosef Tote OFM: “Kita Bangun Komunio Agar Kita Bersatu”

Romo Yosef Tote OFM sedang membawakan homili bertajuk "Komunio". [Foto-Foto: Farida Denura]
PERSATUAN menurut Pastor Kepala Paroki St Paulus Depok, Romo Yosef Tote OFM merupakan hal yang sangat penting. Kita membangun suatu komunio seperti halnya Komunitas Basis dan di dalam komunio, kita bersatu dengan Tuhan, mengikuti teladan daripada tritunggal maha kudus.

“Kita bangun komunitas dan kita harus wujudkan persatuan di antara kita. Berpisah karena ribut, cekcok, itu bahaya,”tegas Romo Yosef.

Hal tersebut disampaikan Romo Yosef dalam homilinya pada misa 1000 hari mengenang kepergian almarhumah Maria Agoestina Tamestri, ibu dari Windy di GDC Cluster Melati, Kamis (27/3/2014) malam.

Dikatakan Romo Yosef, hidup dalam satu komunio, kita harus bangun persatuan dengan sungguh-sungguh. Kalau di dalam keluarga, KUB, Wilayah, bahkan paroki tidak ada kesamaan, maka kita mulai menuju kehancuran.

“Malam ini kita bersatu karena kita mau mewujudkan komunio ini dan kita datang berkumpul di sini. Kita merupakan keluarga besar dan merupakan satu kesatuan. Hal serupa juga saya llihat ketika minggu yang lalu mengunjungi wilayah St. Theresia, wilayah paling jauh dan wilayah St Maria Magdalena. Menarik, mereka banyak yang datang seperti malam,”ungkap Romo Yosef.

Di dalam komunio kata Romo Yosef, kita harus mendukung satu sama lain. Jangalah kita menjadi unsur pemecah bela. “Kita semua beriman pada Yesus dan kita semua bersaudara,”tegasnya.
Ibu Agatha Atin sedang Bacaan Pertama.

Persaudaraan, kerukunan kata dia harus terus diwujudkan. Jika diwujudkan dengan baik hingga ke tingkat paroki maka kita sehati, sejiwa dan sepikir.

Romo Yosef juga mengajak untuk sama-sama membangun jemaat di wilayahnya. Ada usul, kritik, dan saran sampaikan saja.

Dalam masa prapaskah ini tambah dia kita melihat bagaimana hubungan kita dengan sesama. Maka mari kita rekonsiliasi. Dan saya senang malam ini luar biasa banyak yang hadir meski pada hari kerja sekitar kurang lebih 60 orang, warga dari Wilayah St Stefanus serta beberapa dari wilayah St Ignatius Loyola yaitu mantan Ketua Wilayah Pak Sudir Inu Menggolo dan Pak Wagiran.

“Saling merangkul, menguatkan, meneguhkan dan pemersatu itu adalah Yesus sendiri. Dan pengurus maupun anggota bersatu untuk membangun kerajaan Allah.

Ritual Kematian Jawa
Ritual kematian orang Jawa. Tak cukup sehari atau sepekan layaknya proses kematian pada umumnya. Mereka melangsungkan ritual kematian dalam rentang waktu yang panjang. Mulai dari saat kematian (geblak), peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan 1000 hari.
  
Persaudaraan, kerukunan, terus diwujudkan
Cara orang Jawa menyikapi kematian memang manarik. Setiap kegiatan punya makna sendiri-sendiri. Menurut kepercayaan Jawa, setelah satu tahun kematian, arwah dari saudara yang diperingati kematiannya tersebut telah memasuki dunia abadi untuk selamanya
  
Untuk memasuki dunia abadi tersebut, arwah harus melalui jalan yang sangat panjang, oleh karena itu penting sekali diadakannya beberapa upacara untuk menemani perjalanan sang arwah. Upacara tradisional ini menyimbolkan penghormatan sanak keluarga yang masih hidup kepada orang tua dan leluhur mereka. 

Buat orang Jawa, kematian adalah paradoks kehidupan. Kematian bukan merupakan titik akhir, melainkan awal perjalanan hidup yang lebih kekal.
Masyarakat Jawa mempercayai adanya dunia lain sesudah mati.
  
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat Jawa pada umumnya masih berpegang teguh dalam melestarikan tradisi kebudayaan nenek moyangnya. Mayoritas masyarakat Jawa juga masih mempercayai eksistensi ruh seseorang yang telah berpisah dari raganya sebagai penghormatan terakhir padanya. Berikut beberapa tradisi yang lazim dilakukan masyarakat Jawa umumnya berkenaan tentang peristiwa kematian seseorang, antara lain:

Brobosan
Sebagian umat yang hadir.
Yakni suatu upacara yang diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal. Waktunya pun dilaksanakan ketika jenazah akan diberangkatkan ke peristirahatan terakhir (dimakamkan) dan dipimpin oleh salah satu anggota keluarga yang paling tua. Tata cara pelaksanaannya antara lain: 1) Keranda/peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah doa jenazah selesai; 2) Secara berturutan, para ahli waris yang ditinggal (mulai anak laki-laki tertua hingga cucu perempuan) berjalan melewati keranda yang berada di atasnya (mbrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam; 3) Secara urutan, yang pertama kali mbrobosi keranda adalah anak laki-laki tertua dan keluarga inti, selanjutnya disusul oleh anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.
   
Upacara ini dilakukan untuk menghormati, menjunjung tinggi, dan mengenang jasa-jasa almarhum semasa hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang baik dari almarhum. Dalam istilah Jawanya disebut “Mikul dhuwur mendhem jero”.

Surtanah
Romo sedang memberkati prasasti almarhumah.

Kata “surtanah” berasal dari ungkapan “ngesur tanah” yang bermakna membuat pekuburan. Istilah ini dilakukan dengan membuat sajian saat almarhum baru saja dimakamkan.

Tigang dinten
Yaitu semacam kenduri/slametan yang dilakukan pada hari ketiga dari kematian almarhum.

Pitung dinten
Sama halnya dengan kenduri tigang dinten, yakni dilakukan pada hari ketujuh dari kematian almarhum.

Petang puluh dinten
Yakni kenduri pada hari keempat puluh dari kematian almarhum.

Nyatus dinten
Yakni kenduri pada hari keseratus dari kematian almarhum.

Mendhak
Yakni kenduri yang dilakukan setelah satu tahun (pendhak siji) dan dua tahun (pendhak pindho) dari kematian almarhum.

Nyewu
Yakni kenduri pada hari keseribu dari kematian almarhum.

Kol (kirim-kirim)
Sebagaimana kenduri yang dilakukan pada hari ketujuh, keempat puluh, keseratus dan keseribu dari kematian almarhum, namun diselenggarakan setelah kenduri keseribu dan dilakukan pada waktu bertepatan dengan hari dan bulan meninggalnya.

Selamat jalan ibu Maria Agoestina Tamestri, doa kami menyertai perziarahanmu menuju rumah Bapa. (Farida Denura)
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar