Translate

Jumat, 06 Desember 2013

Caleg Katolik

Adrianus Meliala
Oleh: Adrianus Meliala

Sebagaimana jamaknya tahun politik, wajar apabila dewasa ini orang-orang berbicara politik atau bahkan mempersiapkan diri ikut serta dalam pesta politik 2014. Tidak hanya sebagai calon pemilih, tetapi juga sebagai calon legislatif - entah level kabupaten/kotamadya, provinsi, atau pusat-maupun sebagai calon senator (alias anggota Dewan Perwakilan Daerah).

Tidak beda dengan orang kebanyakan, umat Katolik kini juga cenderung terkena “demam” tersebut. Sepengetahuan penulis, ada cukup banyak anak muda, dan bahkan tokoh senior, yang berani menjajal diri sebagai calon legislatif. Afiliasi politik mereka cukup beragam, walau tentu saja umumnya merupakan wakil partai politik nasionalis. Dikatakan “berani”, mengingat beberapa faktor sebagai berikut.

Pertama, “kue” konstituen yang diperebutkan dan menjadi jatah caleg Katolik sebenarnya amat terbatas, mengingat agak sulit mengharapkan suara dari konstituen non-Nasrani. Jika dalam satu daerah pemilihan (dapil) terdapat lebih dari satu caleg Katolik, artinya mereka harus berebut suara. Kalaupun yang satu lebih banyak memperoleh suara dari yang lain, belum tentu pula berhasil membawa sang caleg berangkat ke Senayan.

Kedua, biaya kampanye amat mahal. Walau tak ada jaminan bahwa yang mengeluarkan biaya kampanye besar akan terpilih, namun tak banyak orang yang berani melawan anggapan itu, dan lalu mengeluarkan biaya seperlunya saja selama kampanye. Ketika sudah keluar dana besar dan akhirnya tidak memperoleh kursi DPR, maka stress hampir pasti akan dialami.

Terus terang, tidak semua orang berani mengambil pilihan tersebut. Apalagi jika dikaitkan syarat administratif, di mana yang bersangkutan - katakanlah - wajib mundur dari jabatannya sekarang walau belum tentu terpilih. Jika ada orang Katolik yang memutuskan menjadi caleg, tentunya perlu diselamati dan didukung.

Kita memang berkepentingan memiliki sebanyak-banyaknya anggota parlemen beragama Katolik. Secara hitung-hitungan, jumlahnya bisa mencapai lebih dari 30 orang untuk DPR dan 10 orang untuk DPD. Walau memang belum tentu mereka akan sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan Katolik, namun relatif akan lebih baik apabila cukup banyak umat duduk di sana.

Jika seseorang tidak berhasil masuk parlemen, demikian pula jika ada orang-orang Katolik yang baik namun tidak cukup berani menempuh risiko kampanye, apa yang sebaiknya dilakukan? Dalam hal ini penulis melihat kita semua saat ini terlalu terpaku dengan kontes caleg terkait Pemilu 2014. Pada saat yang sama, kita cenderung melupakan bahwa ada ribuan jabatan yang perlu diisi saat pemerintahan baru mulai bekerja akhir 2014 mendatang.

Bukankah kita juga memerlukan kehadiran pejabat Katolik di level birokrasi, penegak hukum, militer, BUMN, komisi-komisi negara, dan sebagainya? Permasalahannya, untuk mengisi jabatan tersebut, umumnya diperlukan waktu yang lebih lama. Kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan pada umumnya juga khas dan tertentu, sehingga jika kita pada hari ini membutuhkan banyak Eselon-1 beragama Katolik, maka logikanya usaha yang sistematis harus telah dimulai minimal 20 tahun yang lalu.

Kecenderungan pejabat karier tersebut memang berbeda dengan pejabat politik seperti halnya para caleg. Caleg pada dasarnya adalah nobody secara ketatanegaraan, sepanjang menang dalam pemilu, ia dapat menjadi somebody di parlemen untuk jangka waktu lima tahun. Setelahnya ia harus bertarung lagi, jika ingin tetap menjadi somebody lewat bangku parlemen.

Di pihak lain, situasi yang lebih ajeg dihadapi oleh para pejabat eksekutif. Namun demikian, bukan berarti prosesnya bisa berlangsung begitu saja. Ini mengingat: seorang Katolik dapat naik ke “atas”, memerlukan kerja keras, nafas yang panjang, serta dukungan dari banyak pihak.

Mari, sejak sekarang kita mulai mendukung umat yang berani masuk politik, maupun memasuki ribuan bidang pengabdian lainnya! Kita butuh mereka untuk berada di mana-mana.

(Sumber: http://www.hidupkatolik.com/2013/12/06/caleg-katolik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar