Translate

Jumat, 28 Maret 2014

Romo Yosef Tote OFM: “Kita Bangun Komunio Agar Kita Bersatu”

Romo Yosef Tote OFM sedang membawakan homili bertajuk "Komunio". [Foto-Foto: Farida Denura]
PERSATUAN menurut Pastor Kepala Paroki St Paulus Depok, Romo Yosef Tote OFM merupakan hal yang sangat penting. Kita membangun suatu komunio seperti halnya Komunitas Basis dan di dalam komunio, kita bersatu dengan Tuhan, mengikuti teladan daripada tritunggal maha kudus.

“Kita bangun komunitas dan kita harus wujudkan persatuan di antara kita. Berpisah karena ribut, cekcok, itu bahaya,”tegas Romo Yosef.

Hal tersebut disampaikan Romo Yosef dalam homilinya pada misa 1000 hari mengenang kepergian almarhumah Maria Agoestina Tamestri, ibu dari Windy di GDC Cluster Melati, Kamis (27/3/2014) malam.

Dikatakan Romo Yosef, hidup dalam satu komunio, kita harus bangun persatuan dengan sungguh-sungguh. Kalau di dalam keluarga, KUB, Wilayah, bahkan paroki tidak ada kesamaan, maka kita mulai menuju kehancuran.

“Malam ini kita bersatu karena kita mau mewujudkan komunio ini dan kita datang berkumpul di sini. Kita merupakan keluarga besar dan merupakan satu kesatuan. Hal serupa juga saya llihat ketika minggu yang lalu mengunjungi wilayah St. Theresia, wilayah paling jauh dan wilayah St Maria Magdalena. Menarik, mereka banyak yang datang seperti malam,”ungkap Romo Yosef.

Di dalam komunio kata Romo Yosef, kita harus mendukung satu sama lain. Jangalah kita menjadi unsur pemecah bela. “Kita semua beriman pada Yesus dan kita semua bersaudara,”tegasnya.
Ibu Agatha Atin sedang Bacaan Pertama.

Persaudaraan, kerukunan kata dia harus terus diwujudkan. Jika diwujudkan dengan baik hingga ke tingkat paroki maka kita sehati, sejiwa dan sepikir.

Romo Yosef juga mengajak untuk sama-sama membangun jemaat di wilayahnya. Ada usul, kritik, dan saran sampaikan saja.

Dalam masa prapaskah ini tambah dia kita melihat bagaimana hubungan kita dengan sesama. Maka mari kita rekonsiliasi. Dan saya senang malam ini luar biasa banyak yang hadir meski pada hari kerja sekitar kurang lebih 60 orang, warga dari Wilayah St Stefanus serta beberapa dari wilayah St Ignatius Loyola yaitu mantan Ketua Wilayah Pak Sudir Inu Menggolo dan Pak Wagiran.

“Saling merangkul, menguatkan, meneguhkan dan pemersatu itu adalah Yesus sendiri. Dan pengurus maupun anggota bersatu untuk membangun kerajaan Allah.

Ritual Kematian Jawa
Ritual kematian orang Jawa. Tak cukup sehari atau sepekan layaknya proses kematian pada umumnya. Mereka melangsungkan ritual kematian dalam rentang waktu yang panjang. Mulai dari saat kematian (geblak), peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan 1000 hari.
  
Persaudaraan, kerukunan, terus diwujudkan
Cara orang Jawa menyikapi kematian memang manarik. Setiap kegiatan punya makna sendiri-sendiri. Menurut kepercayaan Jawa, setelah satu tahun kematian, arwah dari saudara yang diperingati kematiannya tersebut telah memasuki dunia abadi untuk selamanya
  
Untuk memasuki dunia abadi tersebut, arwah harus melalui jalan yang sangat panjang, oleh karena itu penting sekali diadakannya beberapa upacara untuk menemani perjalanan sang arwah. Upacara tradisional ini menyimbolkan penghormatan sanak keluarga yang masih hidup kepada orang tua dan leluhur mereka. 

Buat orang Jawa, kematian adalah paradoks kehidupan. Kematian bukan merupakan titik akhir, melainkan awal perjalanan hidup yang lebih kekal.
Masyarakat Jawa mempercayai adanya dunia lain sesudah mati.
  
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat Jawa pada umumnya masih berpegang teguh dalam melestarikan tradisi kebudayaan nenek moyangnya. Mayoritas masyarakat Jawa juga masih mempercayai eksistensi ruh seseorang yang telah berpisah dari raganya sebagai penghormatan terakhir padanya. Berikut beberapa tradisi yang lazim dilakukan masyarakat Jawa umumnya berkenaan tentang peristiwa kematian seseorang, antara lain:

Brobosan
Sebagian umat yang hadir.
Yakni suatu upacara yang diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal. Waktunya pun dilaksanakan ketika jenazah akan diberangkatkan ke peristirahatan terakhir (dimakamkan) dan dipimpin oleh salah satu anggota keluarga yang paling tua. Tata cara pelaksanaannya antara lain: 1) Keranda/peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah doa jenazah selesai; 2) Secara berturutan, para ahli waris yang ditinggal (mulai anak laki-laki tertua hingga cucu perempuan) berjalan melewati keranda yang berada di atasnya (mbrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam; 3) Secara urutan, yang pertama kali mbrobosi keranda adalah anak laki-laki tertua dan keluarga inti, selanjutnya disusul oleh anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.
   
Upacara ini dilakukan untuk menghormati, menjunjung tinggi, dan mengenang jasa-jasa almarhum semasa hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang baik dari almarhum. Dalam istilah Jawanya disebut “Mikul dhuwur mendhem jero”.

Surtanah
Romo sedang memberkati prasasti almarhumah.

Kata “surtanah” berasal dari ungkapan “ngesur tanah” yang bermakna membuat pekuburan. Istilah ini dilakukan dengan membuat sajian saat almarhum baru saja dimakamkan.

Tigang dinten
Yaitu semacam kenduri/slametan yang dilakukan pada hari ketiga dari kematian almarhum.

Pitung dinten
Sama halnya dengan kenduri tigang dinten, yakni dilakukan pada hari ketujuh dari kematian almarhum.

Petang puluh dinten
Yakni kenduri pada hari keempat puluh dari kematian almarhum.

Nyatus dinten
Yakni kenduri pada hari keseratus dari kematian almarhum.

Mendhak
Yakni kenduri yang dilakukan setelah satu tahun (pendhak siji) dan dua tahun (pendhak pindho) dari kematian almarhum.

Nyewu
Yakni kenduri pada hari keseribu dari kematian almarhum.

Kol (kirim-kirim)
Sebagaimana kenduri yang dilakukan pada hari ketujuh, keempat puluh, keseratus dan keseribu dari kematian almarhum, namun diselenggarakan setelah kenduri keseribu dan dilakukan pada waktu bertepatan dengan hari dan bulan meninggalnya.

Selamat jalan ibu Maria Agoestina Tamestri, doa kami menyertai perziarahanmu menuju rumah Bapa. (Farida Denura)
   

Rabu, 26 Maret 2014

Ketika Umat KUB A Bicara Menjadi Katolik yang Nasionalis

Suasana ketika ibadah APP Ketiga berlangsung Sabtu (22/3/2014) di kediaman Emmanuel Equator. [Foto-Foto: Farida Denura]
SABTU, 22 Maret 2014 sore menjadi Sabtu seru dan hangat di kediaman keluarga Pak Emmanuel M. Equator T.W, tepatnya di GDC Cluster Anggrek 2. Depok. Pasalnya, sekitar 12 KK dari Komunitas Umat Basis (KUB) A berkumpul mengikuti ibadah APP 2014 yang merupakan pertemuan ketiga dan mereka seru mendiskusikan topik APP.
   
Pertemuan ketiga tersebut mendiskusikan topik berjudul “Menjadi Katolik yang Nasionalis” dan dipandu Pak Hermanto Situmorang. Topik ini bertujuan agar umat semakin memahami dan menghayati bahwa beriman mendalam harus dinyatakan dalam hidup bermasyarakat dengan semangat sebagai seorang Katolik yang sekaligus seorang nasionalis.
   
Hermanto mengawali dengan refleksi Kitab Suci tentang membayar pajak kepada kaisar (Matius 22:15-22). Usai refleksi dilanjutkan dengan pendalaman kitab suci dengan 3 pertanyaan yang sore itu menjadi topik diskusi tersebut yaitu: Apa makna menjadi orang Katolik yang nasionalis menurut teks kitab suci pada bacaan tersebut, lalu seperti apakah menjadi orang Katoli yang nasionalis itu serta bagaimana mewujudkan menjadi orang Katolik yang nasionalis dalam kehidupan sehari-hari?
   
Tibalah sesi diskusi dibuka Hermanto. Ketua KUB A, Elven Rajalewa mengawali diskusi tersebut menanggapi pertanyaan: Apa makna menjadi orang Katolik yang nasionalis menurut teks kitab suci pada bacaan tersebut? Elven mengatakan menurut bacaan tersebut jelas Yesus mau memberikan nasihat pada kita untuk bersikap bijaksana. Apa yang menjadi tugas dan kewajiban kita terhadap Allah. 

Elven Rajalewa berbagi pengalaman imannya
Elven menceritakan bahwa dulu ketika masih kuliah, dirinya lebih mengutamakan kewjiban masyarakat. Elven mengaku lebih enjoy dibanding kewajiban pada Allah. Elven akhirnya menyadari apa yang dia lakukan salah dan Tuhan memintanya untuk membagi waktu bagi dirinya dan juga untuk Tuhan. Elven akhirnya kembali aktif di gereja dengan giat beribadah, mengikuti koor dan lain-lain.
   
Lain lagi komentar Ny Bernard Sinaga. Menjawab pertanyaan nomor satu,  dia  mengatakan menjadi Katolik nasionalis berarti orang Katolik harus terbuka dan sangat mencintai negaranya, tidak terpaku dalam hal-hal Kekatolikan. Di dalam nasionalis kata Sinaga, dia juga harus mencintai peraturan yang ada di dalam negaranya.
   
“Dimana kita berada, kita harus berbaur menasionalis dan tidak terpaku pada suatu daerah. Berbaur pada aturan lingkungan yang kita tinggal. Kita memang harus terbuka ikut berperan serta dalam kegiatan masyarakat,”imbuhnya.
   
Sementara Maria Gayatri menanggapi pertanyaan nomor dua dan tiga mengatakan nasionalis seseorang tampak ketika dia berbaur di organisasi kemasyarakatan tanpa memandang suku agama, ras dan antar golongan.
   
Sebagai warga negara kata Gayatri, dia harus taat bayar pajak, tidak memilih golput dan taat pada peraturan. Dia juga harus menjadi agent of change - agen perubahan dari suatu lingkungan dengan membawa semangat kasih. Dia juga harus menjadi garam dan terang.   
Suasana saat sharing ibadah APP Ketiga.

Lain lagi dengan sharing yang dibawakan Pak Ignatius Edy Purnama. Edy mengatakan sebagai warga negara kita harus taat pada negara dan harus selalu membawa ciri khas Katolik yaitu: Kasih, jujur, Bersih, dan Tidak Korupsi di dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara.

Kalau kita tidak membawa semangat itu maka kita tidak membawa ciri khas Katolik tersebut. Kita kadang berbuat baik namun masih saja orang mencela kita. Meski demikian kita tidak boleh kehilangan misi kita di dalam lingkungan.
   
“Garam dan terang dunia, harus kita maknai di dalam hidup kita. Ajaran kasih, kejujuran harus kita tunjukan karena itu sebagai ciri khas kita orang Katolik,”pinta Edy.
   
Menurut Hermanto sharing Pak Edy dapat disimpulkan bahwa orang Katolik harus mampu mengampuni musuh, menjadi motivator bagi orang lain.
   
Bernard Sinaga mengaku bangga sebagai pengikut Kristus. Nasionalis seorang Katolik kata dia dapat ditunjukkan melalui disiplin seperti halnya datang tepat waktu menghadiri ibadah APP serta komitmen. “Ketepatan waktu, komitmen itu harus menjadi ciri khas orang Katolik,”tegasnya.

Membawa dan Menjaga Nilai

Sebagian umat KUB A
Pak Emmanuel Equator yang juga tuan rumah ibadah APP tersebut punya pandangan berbeda. Menurut Emanuel agak berat di zaman sekarang menjadi Katolik yang nasionalis. Banyak regulasi menurutnya parameternya agak tidak jelas serta berbagai urusan seperti urusan perpajakan kita orang Katolik dipersulit. Banyak tantangan yang dialami kelompok minoritas.
   
Menanggapi komentar Emmanuel, Edy menambahkan bahwa kondisi obyektif negara kita itu ada ketimpangan. Pemerintah tidak membela yang kecil, yang minoritas karena takut dengan yang besar atau mayoritas.
   
Melalui pemilu kata Edy tugas kita adalah memilih para caleg yang bisa bicara di forum kewarganegaraan tentang Kristen yang plural. Menghadapi kondisi riil tersebut kata Edy, kita memang kadang diam tapi kadang harus juga bicara.
   
Farida Denura lebih banyak berbagi pengalamannya ketika aktif di ormas PP Pemuda Katolik. Nasionalis, kebangsaan bukan hal baru yang dilakukan di organisasi tersebut. Bahkan menurut Farida organisasi ini pula yang ikut mendeklarasikan Sumpah Pemuda. Organisasi ini pula telah mengkader begitu banyak kader Katolik menjadi pemimpin yang berjiwa nasionalis yang menjaga dan mempertahankan NKRI. Di organisasi tersebut juga diajarkan menjadi 100% Katolik, 100% Indonesia melalui semangat Pro Eclesia Et Patria---Untuk Gereja dan Tanah Air.
   
Kegiatan-kegiatan yang digelar dan sinergi yang dibangun organisasi tersebut pun kata Farida umumnya mengusung semangat nasionalis tersebut.
   
Sementara Yohanes mengatakan bahwa panggilan kita menjadi Katolik itu tidak dengan membawa ritual. “Kita dipanggil untuk membawa nilai, menjadi orang baik, orang jujur. Kita justru malu kalau kita tidak berbuat apa-apa. Ketika kita makin dikekang maka kita tetap menjaga nilai itu,”ungkapnya.
Bu Anny tampak sedang bersaksi.

Anny Novika Ruttyastuti yang biasa disapa Bu Anny berbagi pengalaman suaminya, Elves Fatima Rebelo yang juga seorang birokrat di Pemkot Depok. Anny menuturkan sejak kecil sekolah di negeri sehingga merasa lebih nyaman di gereja. Setelah nikah dengan suami yang juga seorang Pamong Praja, Anny diajari bagaimana hidup bermasyarakat.
   
Suatu ketika, Anny memulai ceritanya, Tuhan memberikan kepercayaan pada suaminya untuk menjadi Sekretaris Kelurahan di Kelurahan Depok yang mayoritas dihuni warga Belanda Depok. Paling tidak menurut Anny Tuhan telah mewujudkan cita-citanya. Ketika itu Pak Lurahnya meninggal dan suaminya akhirnya dipercaya untuk menjadi Pelaksana Tetap (Plt) selama 9 bulan. Mestinya setelah itu diangkat menjadi Lurah. Rupanya Tuhan berkehendak lain, suaminya tidak diangkat menjadi Lurah, jabatan tidak diturunkan, melainkan dipindahkan ke kantor yang baru.
   
Peristiwa itu membuat suaminya terpukul namun berkat istrinya yang beriman dan setia menghibur suaminya tetap tegas. Kata Anny,”Tuhan punya rencana lain di tempat ini dan bukan berarti melenyapkan cita-citamu itu”.
   
Anny mengajak umat KUB A untuk saling menguatkan. Apa yang harus dilakukan untuk masyarakat, mari kita lakukan dan untuk Tuhan mari kita lakukan. Jangan berpikir apa yang kita lakukan itu sia-sia. Kita harus tulus melakukannya. Itu juga menjadi ciri khas kita sebagai  orang Katolik di tengah masyarakat.
   
Sebagai penutup sharing sore itu Yosef Ugie Rachmawan secara singkat mempunyai pandangan yang agak berbeda. “Saya agak berbeda pandangan. Ternyata menjadi nasionalis itu ngga perlu susah. Cukup ikuti Yesus, seluruh perkataan itu sudah menjadi seorang nasionalis.
   
Pada akhirnya Hermanto menyimpulkan hasil diskusi tersebut bahwa sebagai orang Katolik kita mesti menjadi garam dan terang dunia. Juga sebagai agen perubahan (agent of change). Sebagai pemangku jabatan harus berani jujur, kasih, dan tidak korupsi. Kita juga harus memisahkan antara kenegaraan dan agama. Harus juga membawa nilai dan mengikuti Yesus.
   
Acara kemudian dilanjutkan dengan Doa Umat, Doa Harian Prapaskah 2014, Berkat, dan Penutup.
   
Duh, serunya diskusi tersebut sehingga usai kegiatan ibadah, Emmanuel sebagai tuan rumah langsung mengirim pesan di WA Group KUB A,” Bapak/Ibu, terima kasih akan kedatangannya di rumah saya. Kalau ada yang kurang, mohon dimaafkan. Dapat obrolan yang berbobot di Sabtu Seru..hehehe”.
   
Terima kasih juga Pak Emmanuel atas kesediaan memberikan tempat untuk ibadah tersebut. Tuhan memberkati keluarga Pak Emmanuel.(Farida Denura)
   

Kamis, 20 Maret 2014

Laksamana Muda TNI (Purn), Christina Maria Rantetana, SKM, MPH: Perempuan Serba Pertama

Laksamana Muda TNI (Purn), Christina Maria Rantetana, SKM, MPH [Foto: Dok. Pribadi & Ist] 
JALAN HIDUP seseorang memang sudah ada rancangan masing-masing. Dan jalan hidup Laksamana Muda TNI (Purn), Christina Maria Rantetana, SKM, MPH sudah dirancang Tuhan untuk selalu menjadi pionir dalam berbagai hal. Itu diakui perempuan kelahiran Makale, Tana Toraja, 24 Juli 1955 dalam perbincangan dengan SH, Kamis (6/3/2014) di Jakarta dan beberapa kesempatan sebelumnya. 
 
Christina adalah perempuan pertama di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) yang mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando (Sesko) di luar negeri, yakni di Royal Australian Naval Staff Course di Sydney, Australia. 

Anggota Korps Wanita Angkatan Laut (Kowal) pertama yang ditugaskan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI. Perempuan pertama yang menjabat Direktur Sekolah Kesehatan di Angkatan Laut. Anggota Kowal pertama yang mengikuti pendidikan strata dua di Tulane University New Orleans, Amerika Serikat. Anggota Kowal pertama yang menjadi staf ahli Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Bidang Ideologi dan Konstitusi. Dan, Jenderal bintang dua perempuan pertama di Angkatan Laut serta se-Asean.

Perempuan yang biasa disapa Marike ini juga masuk dalam jajaran ‘Seratus Wanita Indonesia Terinspiratif 2008’ versi Majalah Kartini. Bahkan, ia menjadi salah satu dari 21 tokoh favorit pilihan dewan juri. Selain itu, ia pun termasuk dalam deretan ‘Sepuluh Bukan Perempuan Biasa’ pilihan Majalah Tempo. Ia juga salah satu perempuan dari “21 Tokoh Kristiani 2013” pilihan Majalah Narwastu.

“Saya yakini bahwa jalan hidup seseorang itu memang sudah ada rancangan masing-masing. Dan saya juga sudah tahu bahwa jalan hidup saya itu memang rancangannya seperti itu. Saya selalu menjadi pionir dalam berbagai hal dan ini merupakan kerja keras dan melakukan yang terbaik secara maksimal sesuai dengan kemampuan saya selama ini,”terang Ketua Umum Persatuan Perempuan Toraja.

Christina ketika masih aktif di AL
Ditanya motivasi utama ibu lima anak ini sehingga sukses dalam berkarier, Christina mengatakan bahwa motivasinya adalah memuliahkan Tuhan sehingga setiap kali Christina naik satu tangga dalam karier maka ia selalu mengucap syukur kepada Tuhan dan melakukan kerja yang lebih baik lagi. “Setiap kali saya naik tangga, saya berkomitmen kepada Tuhan untuk berhikmat, bekerja lebih baik secara bertanggungjawab dan bertujuan untuk memuliahkan Tuhan,”ujar ibu dari Belo P. Birana, Mada P. Birana, Lambe P Birana, Rinding P. Birana dan Irianto P. Birana.

Motto hidup Christina sendiri adalah to do my best—lakukan yang terbaik, secara maksimal dan sesuai dengan kemampuannya. Dia mengaku tidak pernah mau kerja tanggung-tanggung—total footbal. Prinsip itulah yang dipegang kuat untuk memberi warna dan memberi kontribusi pada negara ini. 
 
Christina selalu bekerja keras dan terus bekerja cerdas. Menjadi seorang ibu, sekaligus seorang Laksamana dengan tugas menumpuk tentu tidaklah mudah.
Ditanya soal dominasi laki-laki yang begitu kuat di dalam kepemimpinan, menurut Christina itu sangat menarik dan sebagai perempuan kita menjadi bersyukur karena semua pekerjaan itu bisa dilakukan kaum perempuan. Perempuan mengandung, melahirkan, merawat dan meneruskan keturunan.

Makanya sambung dia, orang biasa bilang kalau mendidik perempuan itu sama dengan mendidik satu generasi dibanding mendidik laki-laki. Semua pekerjaan bisa dikerjakan perempuan dan belum tentu bisa dikerjakan laki-laki.

“Dari sisi kesehatan masyarakat sebenarnya daya tahan perempuan itu jauh lebih tinggi daripada laki-laki. Itu terlihat dari statistik kesehatan masyarakat dimana angka kematian perempuan jauh lebih rendah daripada laki-laki, perempuan lebih tahan dari penyakit, angka sakit lebih tinggi dibanding laki-laki. Lebih banyak janda daripada dua, serta lebih banyak perempuan lajang daripada laki-laki,”ungkap istri dari Ir Cosmas S Birana, MS.

Menyadari potensi besar yang dimiliki kaum perempuan itu maka Christina pun mempergunakannya dengan masuk ke dalam kehidupan politik dimana di dalam kehidupan politik itu sendiri diakuinya time consuming, tenaga consuming, dan bahkan menghabiskan uang. Perempuan ini pernah terpilih menjadi anggota DPR-MPR RI untuk fraksi TNI Polri selama dua periode berturut-turut. Periode pertama tahun 1997-1999 dan periode kedua 1999-2004. Pada periode kedua, Christina dipercaya menjabat Sekretaris Fraksi TNI-Polri. Usai berkarya di DPR-MPR RI, Christina ditugaskan sebagai Staf Ahli Menkopolhukam bidang ideologi dan konstitusi.

Menurut Chrisitina, perempuan sukses itu adalah perempuan luar biasa. Dia bisa mengurus rumah tangga, suami dan juga karier. Itu juga menjadi modal bagi dirinya karena memang dari kecil keluarganya telah mengajarkan untuk bekerja dan terbiasa hidup disiplin.

Disiplin yang ditanamkan keluarga sejak dini, ditambahkan di lingkungan Angkatan Laut juga ditanamkan disiplin, hirarki, dan kehormatan militer dimana semuanya mengandung etika, moral, dan kerja keras, itu menurut Christina menjadi modalnya di dalam sukses berkarier.

“Kalau kita disiplin, semua waktu teralokasi dengan baik. Saya sangat menghargai waktu. Bagi saya kita harus well organized. Kalau kita mau ubah dunia maka kita harus mengubah diri kita sendiri. Itu prinsip saya,”aku Ketua I Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia ini secara terus terang.

Perempuan yang telah mendapatkan sejumlah tanda jasa maupun penghargaan di antaranya SL Kesetiaan XXXII, SL Gom IX/Raksasa Dharma , serta Anugerah Citra Kartini, dan Maritime Woman Award ini berbagi pengalaman heroiknya yang pernah dialami. Ketika tahun 1980, pertama kali berlayar ke Kepulauan Natuna dengan KRI Patimura bersama 5 perempuan lainnya dan 60 laki-laki dari AL, Christina mengaku bahwa itu merupakan tugas yang berat dalam berlayar dari satu pulau ke pulau lain. Angin laut yang luar biasa di tengah ombak laut China yang ganas. 
 
Christina di SH
Dalam perjalanan itu, yang mengesankan bagi dirinya adalah ketika mereka tiba di sebuah pulau yang masyarakatnya sudah kehabisan beras. “Untung ada banyak persediaan beras di kapal. Kami akhirnya membawakan beras tersebut dan kami bagikan ke masyarakat. Itulah yang saya lihat bahwa betapa perjuangan yang harus ditempuh untuk menjumpai saudara kita di daerah terpencil. Bagi saya, itu sangat mengesankan,”kata alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Bagi anggota Ikatan Wanita Sulawesi Selatan (IWSS), hambatan terbesar di dalam mengemban karier adalah perspektif orang yang mengambil keputusan. Karena pada umumnya pengambil keputusan itu adalah laki-laki sehingga apapun keputusan mereka akan sangat dipengaruhi oleh perspektif mereka tentang gender. Makanya, Christina setuju yang diperjuangkan kaum perempuan adalah bukan soal emansipasi akan tetapi kesetaraan dan keadilan gender.
 
Satu lagi hal yang mempengaruhi karier seseorang adalah karakter. Karakter menurut dia sangat penting karena jika tidak memiliki karakter maka seseorang akan diombang-ambingkan orang lain. Dan, itu menjadi prinsip hidup Christina.

“Karakter itu penting. Saya pernah baca di kalender abadi saya, ada anonim menulis bahwa “Profesional membawa orang pada satu kedudukan puncak, akan tetapi karakter membuat dia awet di situ”. Jadi, yang memelihara keberadaan kita adalah karakter.

Selain karakter faktor penting lainnya dalam mempengaruhi sukses tidaknya karier seseroang adalah latar belakang pendidikan, dan kultur, wawasan seseorang, hubungan antar manusia. Dia mencontohkan bahwa banyak orang pinta tidak sukses karena arogan, sombong. 
 
Faktor sukses lainnya yang sangat penting adalah dukungan keluarga. “Suami saya tidak membatasi, tidak pernah risau dengan saya karena kami saling percaya. Demikian juga anak-anak saya,”kata perempuan yang memiliki hobi membaca.

Diminta komentarnya tentang peran perempuan sekarang, Calon Anggota Legislatif DPR RI 2014-2019 dari Dapil Jabar VI yang meliputi kota Bekasi dan Kota Depok dengan urutan nomor 5 ini mengatakan perempuan sekarang ini kiprahnya luar biasa, cuma belum berarti karena jumlahnya sedikit dibanding statistik perempuan itu sendiri yang berkisar sekitar 50%. Perempuan yang menduduki jabatan strategis pun sangat kecil. Menurut dia, masih jauh dari harapan.

Kuota Perempuan Penting
Christina Rantetana (duduk-blouse merah)
Menurut Christina jumlah atau kuota perempuan itu penting. Jika prosentase minimum 30% itu terpenuhi maka perempuan itu luar biasa. Christina sadar seperti halnya di AL, dia pernah mengalami hambatan naik pangkat lantaran karena seorang perempuan dan bukan dari Akademi Angkatan Laut yang memang waktu itu hanya menerima laki-laki.

Sadar akan hal tersebut, dia pun berjuang agar dibukanya peluang perempuan masuk AAL menjadi taruni sehingga bisa menduduki jabatan Panglima Tinggi. Perjuangan itu akhirnya membuahkan hasil dan tahun 2013 AAL menerima perempuan untuk masuk AAL. Bukan hanya itu, Christina pun minta agar jumlah yang diterima minimal 10 taruni. Christina bangga dengan perjuangan itu dan ketika bertemu dengan para taruni itu dia berujar,”Saya bintang dua maka minimal kalian harus bintang 3 karena kalian taruni. Kerja baik-baik, di AL semua sudah diatur dan kamu kerjakan dengan baik maka kamu berhasil,”ucapnya.

Perempuan yang mengidolakan Margaret Thatcher, wanita besi yang dulu membangun Inggris Raya itu merupakan sosok yang pintar, berani, dan baik penampilan. Selain itu dia juga mengidolakan Hillary Rodham Clinton lantaran pintar dan cantik.

Selain itu Christina juga mengagumi Laksamana Malahayati. Dia adalah seorang panglima perang angkatan laut dari Aceh yang hidup sekitar abad ke-15. “Saya baca sejarah perjuangannya. Dia memimpin 3.000 prajurit dan membentuk Inong Bale serta membangun benteng Inong Bale. Saya pertama kali ke Aceh, saya cari makamnya,”ceritanya.

Selain Malahayati, Christina juga mengagumi Martha Christina Tiahahu adalah Pahlawan Nasional perempuan pertama yang gugur di medan perang saat bertempur melawan Belanda demi mempertahankan tanah Maluku yang kaya akan hasil bumi. Ketika ke Ambon dia langsung mencari makamnya.

Di akhir perbincangannya, Christina rupanya punya harapan pada kaum perempuan. Dia ingin kaum perempuan harus mengambil peran yang sama dengan laki-laki di dalam membangun bangsa. Saya yakin kaum perempuan mampu dan akan muncul perempuan-perempuan muda yang memiliki sumbangan bagi negeri ini.(Farida Denura)


Biodata
Nama : Christina M. Rantetana
Tempat : Makale. Sulawesi Selatan
Tanggal Lahir : 24 Juli 1955
Pangkat : Laksamana Pertama TNI
Jabatan : Staf Ahli Menko Polhukam Bidang Ideologi dan Konstitusi
Suami : Ir. Cosmas S. Birana, MS

Anak-anak :
* Belo P. Birana
* Mada P. Birana
* Lambe P. Birana
* Rinding P. Birana
* Irianto P. Birana

Pendidikan:
* Akademi Perawatan Umum Ujung Pandang
* Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
* Tulane University, New Orleans, Lousiana, Amerika Serikat

Organisasi:
  • Anggota Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI)
  • Ketua Umum Persatuan Perempuan Toraja
  • Ketua I Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia
  • Anggota Ikatan Wanita Sulawesi Selatan (IWSS)
  • Anggota Komisi Kerawam KWI
Lain-lain:
Ketua Panitia Pembangunan Gereja (PPG) Santo Albertus Bekasi, Harapan Indah, Bekasi


Note: Tulisan ini dengan angle yang berbeda juga dimuat di halaman 1 harian sore Sinar Harapan dalam rangka Women International Day, edisi Sabtu-Minggu, 08-09 Maret 2014. Juga dimuat di majalah Info Gender, KWI yang akan terbit Kamis 20 Maret 2014.

Kamis, 06 Maret 2014

Asal Mula Masa Prapaskah

Kain ungu menggambarkan bahwa Gereja membungkus dirinya sendiri dan berkabung saat Tuhannya sedang mempersiapkan Diri untuk mengalami kesengsaraan dan kematian untuk menebus dunia. [Foto-Foto: Ist]
Masa Prapasakah merupakan masa istimewa untuk berdoa, bertobat, bermatiraga dan melakukan karya belas kasihan sebagai persiapan menyambut perayaan Paskah. Dalam kerinduannya untuk memperbaharui praktek-praktek liturgi Gereja, Konstitusi tentang Liturgi Kudus Konsili Vatikan II menyatakan, “Dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan yang lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. 

Masa Prapaskah merupakan sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk merayakan Paskah, sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan lebih sering dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa.

Sejak masa awal Gereja, terdapat bukti akan adanya semacam masa persiapan menyambut Paskah. Sebagai contoh, St. Ireneus (wafat 203) menulis kepada Paus St. Victor I, perihal perayaan Paskah dan perbedaan-perbedaan dalam perayaannya antara Timur dan Barat, Perbedaan tidak hanya sebatas hari, tetapi juga ciri puasa yang sesungguhnya. 

Sebagian berpendapat bahwa mereka wajib berpuasa selama satu hari, sebagian berpuasa selama dua hari, lainnya lebih lama lagi; sebagian menetapkan 'masa' mereka selama 40 jam. Berbagai perbedaan dalam perayaan tersebut bukan berasal dari masa kita, melainkan jauh sebelumnya, yaitu sejak masa para leluhur kita. (Eusebius, Sejarah Gereja, V, 24). 
Rabu Abu, menandai awal masa Prapaskah.

Ketika Rufinus menerjemahkan bagian berikut ini dari bahasa Yunani ke bahasa Latin, tanda baca yang dibubuhkan antara “40” dan “jam” menjadikan maknanya tampak seperti “40 hari, dua puluh empat jam sehari.” Namun demikian, maksud pernyataan di atas adalah bahwa sejak masa “para leluhur kita” - sebutan bagi para rasul - suatu masa persiapan selama 40 hari telah ada. Tetapi, praktek nyata dan lamanya Masa Prapaskah masih belum seragam di seluruh Gereja.

Masa Prapaskah diatur secara lebih mantap setelah legalisasi agama Kristen pada tahun 313. Konsili Nisea (tahun 325), dalam hukum kanonnya, mencatat bahwa dua sinode provincial haruslah diselenggarakan setiap tahun, “satu sebelum Masa Prapaskah selama 40 hari.” St. Atanasius (wafat 373) dalam “Surat-surat Festal” meminta umatnya melakukan puasa selama 40 hari sebelum puasa yang lebih khusuk selama Pekan Suci. St. Sirilus dari Yerusalem (wafat 386) dalam Pelajaran Katekese, mengajukan 18 instruksi sebelum pembaptisan yang diberikan kepada para katekumen selama Masa Prapaskah.

St. Sirilus dari Alexandria (wafat 444) dalam serial “Surat-surat Festal” juga mencatat praktek dan lamanya Masa Prapaskah dengan menekankan masa puasa selama 40 hari. Dan akhirnya, Paus St. Leo (wafat 461) menyampaikan khotbahnya bahwa umat beriman wajib “melaksanakan puasa mereka sesuai tradisi Apostolik selama 40 hari”. Orang dapat menyimpulkan bahwa pada akhir abad keempat, masa persiapan selama 40 hari menyambut Paskah yang disebut sebagai Masa Prapaskah telah ada, dan bahwa doa dan puasa merupakan latihan-latihan rohaninya yang utama.

Tentu saja, angka “40” selalu mempunyai makna spiritual khusus sehubungan dengan persiapan. Di gunung Sinai, sebagai persiapan untuk menerima Sepuluh Perintah Allah, “Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air” (Kel 34:28). Elia berjalan selama “40 hari dan 40 malam” ke gunung Allah, yakni gunung Horeb (nama lain Sinai) (1 Raj 19:8). Dan yang terutama, Yesus berpuasa dan berdoa selama “40 hari dan 40 malam” di padang gurun sebelum Ia memulai pewartaan-Nya di hadapan orang banyak (Mat 4:2).

Begitu Masa Prapaskah selama 40 hari ditetapkan, perkembangan berikutnya adalah menyangkut berapa banyak puasa yang harus dilakukan. Di Yerusalem, misalnya, orang berpuasa selama 40 hari, mulai hari Senin hingga hari Jumat, tetapi tidak pada hari Sabtu dan hari Minggu, dengan demikian Masa Prapaskah berlangsung selama delapan minggu. 

Di Roma dan di Barat, orang berpuasa selama enam minggu, mulai hari Senin hingga hari Sabtu, dengan demikian Masa Prapaskah berlangsung selama enam minggu. Akhirnya, diberlakukan praktek puasa selama enam hari dalam satu minggu, selama masa enam minggu, dan Rabu Abu ditetapkan untuk menggenapkan hari-hari puasa sebelum Paskah menjadi 40 hari. Peraturan-peraturan puasa bervariasi pula.

Pertama, sebagian wilayah Gereja berpantang dari segala bentuk daging dan produk hewani, sementara yang lain berpantang makanan tertentu seperti ikan. Sebagai contoh, Paus St. Gregorius (wafat 604), menulis kepada St. Agustinus dari Canterbury, perihal peraturan berikut: “Kami berpantang lemak, daging, dan segala makanan yang berasal dari hewan seperti susu, keju dan telur.”

Kedua, peraturan umum adalah orang makan satu kali dalam satu hari, yaitu pada sore hari atau pada pukul 3 petang.

Peraturan-peraturan puasa Masa Prapaskah juga mengalami perkembangan. Pada akhirnya, makan sedikit pada waktu siang diperbolehkan guna menjaga daya tahan tubuh selama melakukan pekerjaan sehari-hari. Makan ikan diperbolehkan, dan akhirnya makan daging juga diperbolehkan sepanjang minggu kecuali pada hari Rabu Abu dan setiap hari Jumat. Dispensasi diberikan untuk mengkonsumsi produk-produk hewani jika orang melakukan kerja berat, dan akhirnya peraturan ini pun sepenuhnya dihapuskan.

Selama bertahun-tahun perubahan-perubahan terus dilakukan dalam merayakan Masa Prapaskah, menjadikan praktek kita sekarang tidak saja sederhana, tetapi juga ringan. Rabu Abu masih menandai dimulainya Masa Papaskah, yang berlangsung selama 40 hari, tidak termasuk hari Minggu. Peraturan-peraturan pantang dan puasa yang berlaku sekarang amatlah sederhana: Pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung, umat beriman berpuasa (makan kenyang hanya satu kali dalam sehari, ditambah makan sedikit untuk menjaga daya tahan tubuh) dan berpantang setiap hari Jumat selama Masa Prapaskah. Umat masih dianjurkan untuk “merelakan sesuatu” sesuatu selama Masa Prapaskah sebagai mati raga. (Catatan menarik adalah bahwa pada hari Minggu dan hari-hari raya, seperti Hari Raya St. Yusuf (19 Maret) dan Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret), orang bebas dan diperbolehkan makan/ melakukan apa yang telah dikorbankan sebagai mati raga selama Masa Prapaskah).

Namun demikian, senantiasa diajarkan kepada saya, “Jika kamu berpantang sesuatu demi Tuhan, teguhkan hatimu. Janganlah berlaku seperti orang Farisi yang suka mencari-cari kesempatan.” Lagipula, penekanan haruslah dititikberatkan pada melakukan kegiatan-kegiatan rohani, seperti ikut serta dalam Jalan Salib, ambil bagian dalam Misa, adorasi di hadapan Sakramen Mahakudus, meluangkan waktu untuk berdoa secara prbadi, membaca bacaan-bacaan rohani, dan yang terutama menerima Sakramen Tobat dengan baik dan memperoleh absolusi. 

Meskipun praktek perayaan dapat berubah dan berkembang dari jaman ke jaman, namun fokus Masa Prapaskah tetap sama: yaitu menyesali dosa, memperbaharui iman, serta mempersiapkan diri menyambut perayaan sukacita misteri keselamatan kita.

Romo William P. Saunders-- (Pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls).
Sumber: http://www.indocell.net/yesaya/id507.htm