Belajar Setia: Petrus Suwihartono (kiri) bersama seorang relawan, saat mengajar anak-anak di Pedongkelan, Jakarta Timur |
Bersama KKIT, Petrus melayani masyarakat di Pedongkelan, Jakarta Timur. Ia mendampingi belajar anak-anak di sana. Pengalaman itu menempanya untuk setia melayani orang lain.
Berkaca pada realitas kemiskinan di Jakarta, Petrus Suwihartono (54) merefleksikannya dengan kutipan, “Tuaian memang banyak tetapi pekerja-pekerja itu sedikit”. Pelayanan pada kaum miskin urban masih sangat minim. Kondisi itu seolah memanggilnya untuk berbuat sesuatu. Panggilan itu kian menggebu sejak ia bergabung dengan Kerabat Kerja Ibu Teresa (KKIT) pada 2002. Ia pun membenamkan diri dalam pelayanan bagi orang-orang miskin dan tidak mampu, terutama di Pedongkelan, Jakarta Timur.
Titik Balik
Sebelum terjun dalam pelayanan itu, Petrus cenderung lebih memperhatikan kesibukan usahanya. Tahun 1981-1996, ia masih mencurahkan banyak waktu untuk usaha suku cadang mobilnya di daerah Senen, Jakarta Pusat. Musibah kebakaran menimpanya.
Usahanya pun habis. Saat itu, ia menyadari, tak ada sesuatu pun di dunia ini yang kekal.
Pada 1999-2001, ia mulai merintis usaha kembali di Cempaka Mas. Rupanya dewi fortuna belum berpihak padanya. Usaha barunya tak berjalan lancar, hingga ia memutuskan untuk berhenti bekerja pada 2002.
Suatu ketika, seorang teman dari KKIT Kelapa Gading mengajaknya untuk membagikan nasi sehat pada masyarakat di Pedongkelan. Awalnya, Petrus merasa khawatir pergi ke tempat seperti itu. Ia sering mendengar, di sana sering terjadi penodongan dan tindak kejahatan lainnya. Namun, ia memberanikan diri ikut dalam aksi sosial itu.
Melihat kondisi masyarakat di sana, hatinya mulai terketuk rasa belas kasih untuk terus melayani mereka yang lemah, miskin dan tersingkir. Meskipun tak
bergelimang materi, Petrus ingin membagikan waktu yang ia punya. Dalam situasi tanpa pekerjaan, ia merasa kaya akan waktu yang dapat dibagikan pada orang lain. “Seperti halnya Ibu Teresa, saya percaya bahwa panggilan hidup bukanlah untuk sukses, melainkan untuk setia. Dalam melayani, kesetiaan harus lebih diutamakan daripada hal lainnya. Dengan kesetiaan, saya percaya bahwa saya akan dikuatkan dalam menghadapi segala kesulitan,” paparnya.
Melayani Lebih
Dalam pelayanannya di Pedongkelan, Petrus bekerjasama dengan berbagai pihak, antara lain KKIT dan Yayasan Hope. Awalnya, pelayanan di sana hanya sebatas membagikan nasi sehat dan bantuan pendidikan. Lalu tahun 2004, dimulailah karya bimbingan belajar yang bekerjasama dengan Yayasan Hope.
Tamatan SMP ini, mulanya ragu untuk membuka bimbingan belajar di Pedongkelan. Petrus merasa kompetensinya tak mencukupi untuk menjadi pengajar. Di tengah keraguan yang berkecamuk di hatinya, ia memilih diam. Ia tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya muncul gagasan untuk mengajak anak-anak usia Taman Kanak-kanak (TK) bermain dan bernyanyi bersama.
Menurut Petrus, bimbingan belajar di Pedongkelan berawal dari keprihatinan saat melihat anak-anak bermain di jalanan dan di danau. “Saya dan teman teman mengambil waktu bermain anak-anak untuk belajar,” tutur pria kelahiran Jakarta, 17 Februari 1959 ini.
Awalnya hanya sekitar 30 anak yang bergabung, usia TK hingga SMP. Kini sekitar 150 anak bergabung dan dilayani oleh Petrus dan para relawan, yang berasal dari Kelapa Gading, Ciputat, Depok, dll. Petrus dan para relawan memberikan bimbingan belajar tiap Sabtu.
Koordinator pelayanan di Pedongkelan ini, terus berusaha untuk setia melayani. Ia hanya mengandalkan iman dalam pelayanannya. Rasa khawatir kadang menyelinap di relung hatinya, terutama berkaitan dengan para relawan yang membantu bimbingan belajar yang ia motori. Kekhawatiran yang singgah di hatinya, membuat Petrus justu kian berserah pada penyelenggaraan Tuhan. Ia pasrahkan pada-Nya kelangsungan karya kasih di Pedongkelan itu.
Kian Ditempa
“Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:33), demikian kutipan Injil yang turut menguatkan perjuangan Petrus melayani masyarakat di Pedongkelan, khususnya anak-anak yang tergabung dalam bimbingan belajar. Panggilannya untuk memberikan diri dalam pelayanan juga didorong oleh keyakinan bahwa Tuhan telah lebih dulu melayaninya. “Sehingga saya pun mesti melayani sesama,” ujarnya.
Melalui pelayanan, Petrus berusaha menghidupkan firman dalam hatinya agar
tumbuh dan berbuah. Ia percaya, iman tanpa perbuatan adalah mati. “Dalam
pelayanan, saya semakin ditempa dan diteguhkan. Saya juga belajar menyangkal diri, berbagi kasih, dan berkorban,” ungkap umat Paroki Katedral Jakarta ini.
Dengan penuh kesabaran, Petrus merasul di Pedongkelan. Tak hanya memberikan bimbingan belajar, ia juga terlibat dalam membagikan kupon makanan pada warga Pedongkelan yang saling berebut untuk mendapatkan kupon. Bahkan banyak di antara mereka yang meminta lebih dari satu kupon. Dengan sabar Petrus melayani mereka satu persatu dan bersikap tegas bagi mereka yang selalu meminta lebih.
Ketulusan Petrus dalam melayani, kadang menemui kendala. Sebelumnya, ia pernah membagikan pakaian pada mereka. Namun ia heran, mengapa orang-orang yang menerima pakaian itu masih mengenakan pakaian yang sama. Petrus merasa terkejut saat mendengar ada warga yang menjual pakaian bekas. Ia heran bagaimana mungkin pakaian bekas mereka dapat laku dijual. Selidik punya selidik, ternyata pakaian yang selama ini ia sumbangkan, dijual kembali oleh mereka. Dari hal-hal itulah Petrus belajar memberi dengan tulus. Petrus merasa, orang-orang ini lebih tahu akan kebutuhannya. Bisa jadi mereka menjual pakaian pemberiannya karena butuh uang untuk membeli makanan atau kebutuhan lainnya.
Pasti Ada Jalan
Pengalaman melayani masyarakat di Pedongkelan dan mendampingi anak-anak belajar, membuat Petrus makin ditempa dalam menghidupi imannya. Musibah kebakaran di Pedongkelan Mei lalu, membuat imannya kian diteguhkan. Segalasarana prasarana bimbingan belajar habis terbakar.
“Kami mesti mulai dari awal lagi. Tapi saya tetap percaya, Tuhan akan memberikan jalan,” jelasnya. Orang-orang Pedongkelan yang tidak menjadi korban kebakaran membuka pintu dan menawarkan rumahnya untuk dijadikan tempat bimbingan belajar. Petrus merasa tersentuh atas kebaikan mereka. Hal ini pun turut menguatkannya dalam pelayanan di sana.
Bagi Petrus, pelayanannya bukan semata-mata kerja sosial. Apa yang ia lakukan terdorong oleh iman akan Kristus. Ia tak mencari keuntungan diri atau pujian. “Saya hanya ingin melayani dengan tulus. Bukan untuk sukses, tapi untuk menumbuhkan iman dan mengembangkan kerohanian,” tandasnya.
“Apa yang bisa kita berikan ya kita berikan. Dengan pelayanan di Pedongkelan, saya bukan sekadar mengajar, tapi justru belajar pada mereka. Saya bisa belajar setia melayani, belajar untuk menyangkal diri. Kita ditempa, kadang ada rasa sakit yang terasa, namun di situlah kita tengah dibentuk. Jadinya apa, ya kita tidak tahu,” demikian Petrus.(Sumber:Majalah HIDUP Edisi No. 37 Tanggal 15 September 2013)
Laurentius D. Yogatama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar