Translate

Selasa, 11 Februari 2014

Raphael Sugeng Pramono: Satu Tangan, Tetap Melayani


PENUH SEMANGAT:Momon saat konser Ulang Tahun Vita Voxa Choir ke-10. [Foto: NN/Dok. Pribadi]
Tahun 1987 menjadi tahun yang berat bagi Raphael Sugeng Pramono (47). Februari tahun itu ibunya meninggal. Rasa kehilangan dan sedih menderanya. “Saya paling dekat dengan ibu,” ungkap Momon, sapaan akrabnya. Belum habis kesedihannya, tujuh bulan berselang Momon mengalami kecelakaan. Tangan kirinya harus diamputasi.

Kehilangan ibu dan tangan kiri menjadi pukulan berat baginya. Pria yang sedang kuliah semester lima di Universitas Pancasila Jakarta ini terpaksa mengambil cuti kuliah selama setahun guna pemulihan pasca kecelakaan. Bukan hanya pemulihan fisik, melainkan juga psikis. Momon belum bisa menerima kenyataan harus melalui hari-hari dengan satu tangan. Apalagi ia tengah menyelesaikan studi di jurusan yang mengandalkan kreativitas tangan: Arsitektur.

Banjir Dukungan
Selama masa pemulihan Momon merasakan dukungan keluarga dan teman-teman mengalir begitu deras. Teman-temannya silih berganti menjenguk. Mereka tak hanya memberi semangat, tetapi juga membawakan materi-materi kuliah. Bahkan seorang sahabatnya datang dua minggu sekali untuk memberikan materi kuliah favoritnya, Mekanika Teknik.

“Sahabat saya sudah meninggal, namanya Elisabeth. Dia tahu saya senang dengan pelajaran Mekanika Teknik. Dia selalu datang dan memberikan materi kuliah sehingga saya juga bisa tetap belajar,” kenangnya.

Bagi Momon, masa pemulihan menjadi masa untuk mengembalikan rasa percaya diri. Awalnya, ia merasa terpuruk. Tetapi ia tak mau larut dalam keterpurukan. Ia berusaha bangkit dan menerima keadaan serta menghadapi kenyataan. “Kalau saya terpuruk terus, saya mau jadi apa. Saya harus maju, gak boleh lemah. Saya harus mandiri, gak boleh jadi orang yang dikasihani terus,” ia bercerita.

Usai masa cuti kuliahnya berakhir, Momon kembali masuk kuliah. Ia sempat menggunakan tangan palsu yang dibelikan sang kakak. Namun ia merasa risih sehingga akhirnya ia memutuskan untuk melepas tangan palsunya dan berusaha menerima diri apa adanya. Momon menyakini, menerima diri apa adanya adalah kunci menjadi pribadi yang lebih baik. “Terserah orang mau bilang apa. Saya ya seperti ini adanya,” ungkapnya.

Dengan satu tangan, Momon berusaha mengikuti kuliah dan mengerjakan tugas yang diberikan para dosen. Para dosennya pun tak memberikan perlakuan khusus. Tugas-tugas kuliah harus ia selesaikan dalam waktu yang telah ditentukan, sebagaimana mahasiswa lain.

Baginya hal itu menguatkan. Momon merasa memperoleh semangat juang. Seolah para dosen mengatakan padanya, “Kamu pasti bisa!”

“Itu artinya saya tidak disepelekan. Saya merasa tidak cacat dan lebih bersemangat,” lanjut pria yang kini sehari-hari bekerja sebagai kontraktor ini.

Selain itu, pesan sang bunda untuk rajin berdoa Rosario terekam dalam ingatan Momon. “Itu pesan terakhir ibu. Ibu menyuruh saya berdoa Rosario tiap pagi,” tuturnya. Pria kelahiran Jakarta, 24 Oktober 1966 ini berusaha menyerahkan segala kesedihan dan ketidakberdayaan pada Tuhan dalam doa-doanya.

Kian Bersemangat
Dengan satu tangan yang ada Momon tak mau tinggal diam. Ia ingin memberikan diri bagi orang lain dengan kemampuan yang dimilikinya. Salah satunya melalui kelompok paduan suara. “Saya ingin menunjukkan bahwa di balik kekurangan ini, saya bisa melakukan sesuatu,” ujarnya.

Sewaktu kecil, Momon mengaku tidak suka menyanyi. Namun sejak duduk di bangku SMP, ia terlibat dalam paduan suara sekolah dan dikirim untuk bernyanyi sebagai perwakilan sekolah. Tahun 1998 ia bergabung dengan kelompok paduan suara di Paroki St Kristoforus Grogol, Jakarta Barat.

Empat tahun berselang, Momon juga terlibat sebagai anggota paduan suara Cicilia, Paroki St Maria Diangkat ke Surga Katedral, Jakarta. Ia mengungkapkan dirinya banyak belajar, baik belajar menyanyi maupun hal lain yang berkaitan dengan musik. Hal itu pun memacunya untuk terus belajar dan belajar lagi.

Karena pengalaman dan ilmu yang didapat, Momon dipercaya melatih salah satu paduan suara Paroki Grogol pada 2004. Lagi-lagi ia mendapat tantangan. Saat itu ada orang yang tidak mempercayai dan meragukan kemampuannya. “Momon itu tangan satu, apa bisanya?” demikian Momon menyitir perkataan yang seolah menampar wajahnya.

Sebagai manusia biasa, Momon mengaku marah kala mendengar ungkapan yang melecehkan dirinya itu. Ia pun memilih untuk mengundurkan diri. Namun akhirnya ia merasa bersyukur atas “tamparan” yang diberikan padanya. “Itu menjadi tamparan yang membuat saya bersemangat. Saya ingin nunjukin bahwa dengan tangan satu, saya bisa. Saya bersyukur, puji Tuhan ada orang yang seperti itu! Mungkin kalau saya gak ketemu orang itu, saya gak jadi seperti sekarang,” ungkap pria yang kini dipercaya melatih di berbagai kelompok paduan suara ini.

Pada akhirnya Momon tetap ingin melayani melalui paduan suara. Maka ia pun membentuk kelompok paduan suara Vita Voxa Choir yang pada Juli 2013 lalu merayakan ulang tahun ke-10. Paduan suara itu beberapa kali menyabet juara dalam lomba paduan suara. Bersama para anggota paduan suara yang dibentuknya, ia pun menggelar konser amal untuk penggalangan dana.

Hasratnya terus berkobar untuk memberikan diri dalam pelayanan bagi orang lain dan Gereja. Tahun 2008, atas izin pastor paroki, Momon membentuk kelompok pemazmur di Paroki Grogol. Kelompok itu diberi nama “Pemazmur Raja Daud”.

Pada tahun yang sama, Momon juga membentuk paduan suara anak-anak Kristoforus Childern Choir. Ia prihatin dan tertantang karena melihat anak-anak kurang tertarik pada musik, terlebih musik liturgi. “Dengan keprihatinan itu, saya coba menanamkan ke hati anak-anak supaya dari kecil mencinta musik liturgi, agar besarnya nanti tidak lari dari Gereja,” bebernya.

Di tengah kesibukannya melayani dengan menjadi pelatih dan dirigen paduan suara, terselip keinginan untuk bisa membantu orang-orang kurang mampu, terutama mereka yang berkebutuhan khusus. “Saya ingin memotivasi orang-orang seperti itu,” ujarnya.

Momon bersyukur atas semua yang dianugerahkan Tuhan, termasuk pengalaman kehilangan tangan kirinya. Ia percaya, Tuhan memberikan jalan terbaik baginya. “Indah pada waktunya”, demikian ungkapan yang turut menguatkannya.

Selama tiga periode Momon menjadi Ketua Seksi Paduan Suara, Dirigen, dan Organis (Pasdior) Paroki Grogol. Ia mampu menjalankan tugas pelayanan ini karena prinsip yang ia yakini: “Saya adalah apa yang saya pikirkan. Jika saya pikir saya bisa, saya pun bisa. Jika saya pikir saya hebat, saya juga bisa hebat. Tetapi saya tetap hanya bergantung pada Tuhan. Tanpa Dia, saya bukan siapa-siapa.” [Ag. Suprimanto]

Sumber: http://www.hidupkatolik.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar