Romo Alfons R Suhardi, OFM siap memotong kue tar ultah ke-75 tahun di hari ulang tahunnya Senin 5 Mei 2014 di halaman depan Pastoran Paroki St. Paulus Depok. [Foto-Foto: Endang R. Jempormasse] |
SENIN, 5 Mei 2014 merupakan hari bahagia Romo Alfons S. Suhardi, OFM. Pasalnya pada hari itu, Romo Alfons S Suhardi, OFM, Pastor yang belum lama bertugas di Paroki St Paulus Depok itu genap berusia 75 tahun.
Putra ke 2 dari 12 bersaudara kelahiran Muntilan, 5 Mei 1939 mengaku sampai saat ini masih sehat, masih bisa bekerja dan tidak merasa tua. “Saya tidak merasa tua. Saya masih sehat dan masih bisa bekerja. Saya sadar tua, pas jalan menanjak yang membuat nafas saya terengah-engah atau naik tangga hingga 20-30 anak tangga. Atau, ketika saya bersama anak muda, misalnya novis baru maka saya baru merasa tua dan saya ingat mereka saat 53 tahun lalu tepatnya tahun 1961 saya masuk novis,”ungkap putera seorang Katekis yang lahir pada Jumad Kliwon.
Senin malam itu sekitar 30 orang hadir merayakan ulang tahun Romo Alfons yang digelar di halaman depan pastoran. Mereka yang hadir antara lain Romo DR Alex Lanur, OFM, Romo Yan,OFM, Romo Yosef Tote, OFM, Romo Anton S Manurung, OFM, Seminaris dari Transitus serta beberapa Romo lagi, sejumlah pengurus DPP dan sejumlah pengurus DKP.
Ditanya WP (Warta Paroki St Paulus Depok-Red) kenapa tidak merasa tua, Romo Alfons begitu dia disapa umat, dan memiliki nama asli Suhardi ini, mengaku bahwa tubuhnya sehat dan baru sekali masuk rumah sakit karena menderita paru-paru basah dan 5 tahun lalu menderita sakit jantung namun saat ini sudah pulih kembali. Romo Alfons mensyukuri tubuhnya yang sehat dengan nafas yang tidak tersenggal-senggal. “Tarik nafas waktu nyanyi juga satu kali dibanding anak muda yang bisa tarik nafas 3 kali,”akunya bangga.
Sepanjang usianya, Romo Alfons telah 46 tahun menjalani imamat. Pilihan imamatnya diakui dia sebenarnya menyalahi rumus Bapaknya. “Bapak saya suruh jadi misdinar, lalu jadi Romo akan tetapi saya terlanjur menjadi anggota koor sejak kelas IV SD dan tidak pernah menjadi misdinar,”cerita Romo yang menguasai 7 bahasa asing yaitu bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Latin, Italia, Arab. Selain itu Romo pernah mempelajari bahasa Ibrani.
Lebih lanjut dia menjelaskan pilihan imamatnya timbul ketika suatu hari Romo Pastoran di Metro Lampung menunjukan padanya foto anak-anak seminari Palembang. “Saya lihat teman saya kelas 6 SD itu ada di foto itu. Namanya Surip. Dia teman kelas 6 SD di Metro tapi dari Panti Asuhan Pringsewu. Di situlah saya sadar dan memicu saya juga untuk masuk seminari,”kenang Romo yang juga fasih berbahasa Jawa, Sunda ini.
Ketika dirinya berkonsultasi dengan Frater Achiles, Frater menyarankan untuk masuk Fransiskan dengan melanjutkan seminari di Cicurug. Alasannya, Frater Achiles dulu gagal masuk seminari tersebut jadi meminta dia meneruskan.
Frater Achiles juga sambung dia yang diam-diam menulis surat ke Uskup Bogor, Mgr N.J.C. Geise, OFM dan diterima meski keputusan masuk seminari itu membuat ayahnya agak kecewa. Romo Alfons akhirnya masuk biara tahun 1953 tepatnya di Seminari Cicurug dan ditabiskan 3 Desember 1968 di Pringsewu, Lampung. Maklum kedua orang tuanya memang tinggal di Pringsewu.
Romo Alfons lebih cepat ditabiskan dibanding dua temannya karena mau dikirim tugas belajar di Kairo guna mendalami Islamilogi di American University selama kurang lebih 2,5 tahun. Status Romo Alfons waktu itu saat mau ditabiskan hanyalah seorang Frater dan harus segera ditabiskan Mgr. Albert Hermelink Gentiaras SCJ, Uskup pertama keuskupan Lampung sementara dua teman lainnya harus menjalani tugas pastoral dulu di paroki.
Karena belum menjalani tahapan sebagai sub diakon, diakon, dan imamat, padahal harus ditabis maka dia pun cepat-cepat berangkat ke Pringsewu, dua minggu sebelum tabisannya. Mula-mula ditabiskan menjadi sub diakon oleh Mgr Hermelink SCJ yang juga dihadiri kedua orangtuanya, adiknya seorang biarawati di Kapel Pringsewu. Sementara pada Minggu sore dia menjalani tabisan diakon di kapelnya Susteran FSGM yang dijadikan sebagai paroki. Baru kemudian pada Kamisnya ditabiskan menjadi imam. Waktu yang begitu singkat harus menjalani tabisan membuat Romo Alfons tidak sempat membuat jubah baru, sehingga jubah yang dikenakan adalah jubah saat menjalani kaul kekal dan diakui dia sudah robek-robek.
Bergelut di Dunia Pendidikan
Putra ke 2 dari 12 bersaudara kelahiran Muntilan, 5 Mei 1939 mengaku sampai saat ini masih sehat, masih bisa bekerja dan tidak merasa tua. “Saya tidak merasa tua. Saya masih sehat dan masih bisa bekerja. Saya sadar tua, pas jalan menanjak yang membuat nafas saya terengah-engah atau naik tangga hingga 20-30 anak tangga. Atau, ketika saya bersama anak muda, misalnya novis baru maka saya baru merasa tua dan saya ingat mereka saat 53 tahun lalu tepatnya tahun 1961 saya masuk novis,”ungkap putera seorang Katekis yang lahir pada Jumad Kliwon.
Senin malam itu sekitar 30 orang hadir merayakan ulang tahun Romo Alfons yang digelar di halaman depan pastoran. Mereka yang hadir antara lain Romo DR Alex Lanur, OFM, Romo Yan,OFM, Romo Yosef Tote, OFM, Romo Anton S Manurung, OFM, Seminaris dari Transitus serta beberapa Romo lagi, sejumlah pengurus DPP dan sejumlah pengurus DKP.
Ditanya WP (Warta Paroki St Paulus Depok-Red) kenapa tidak merasa tua, Romo Alfons begitu dia disapa umat, dan memiliki nama asli Suhardi ini, mengaku bahwa tubuhnya sehat dan baru sekali masuk rumah sakit karena menderita paru-paru basah dan 5 tahun lalu menderita sakit jantung namun saat ini sudah pulih kembali. Romo Alfons mensyukuri tubuhnya yang sehat dengan nafas yang tidak tersenggal-senggal. “Tarik nafas waktu nyanyi juga satu kali dibanding anak muda yang bisa tarik nafas 3 kali,”akunya bangga.
Romo Alfons R Suhardi, OFM sedang memotong kue tar ultah ke-75 tahun. |
Lebih lanjut dia menjelaskan pilihan imamatnya timbul ketika suatu hari Romo Pastoran di Metro Lampung menunjukan padanya foto anak-anak seminari Palembang. “Saya lihat teman saya kelas 6 SD itu ada di foto itu. Namanya Surip. Dia teman kelas 6 SD di Metro tapi dari Panti Asuhan Pringsewu. Di situlah saya sadar dan memicu saya juga untuk masuk seminari,”kenang Romo yang juga fasih berbahasa Jawa, Sunda ini.
Ketika dirinya berkonsultasi dengan Frater Achiles, Frater menyarankan untuk masuk Fransiskan dengan melanjutkan seminari di Cicurug. Alasannya, Frater Achiles dulu gagal masuk seminari tersebut jadi meminta dia meneruskan.
Romo Anton sedang menyalahkan lilin ultah. |
Romo Alfons lebih cepat ditabiskan dibanding dua temannya karena mau dikirim tugas belajar di Kairo guna mendalami Islamilogi di American University selama kurang lebih 2,5 tahun. Status Romo Alfons waktu itu saat mau ditabiskan hanyalah seorang Frater dan harus segera ditabiskan Mgr. Albert Hermelink Gentiaras SCJ, Uskup pertama keuskupan Lampung sementara dua teman lainnya harus menjalani tugas pastoral dulu di paroki.
Karena belum menjalani tahapan sebagai sub diakon, diakon, dan imamat, padahal harus ditabis maka dia pun cepat-cepat berangkat ke Pringsewu, dua minggu sebelum tabisannya. Mula-mula ditabiskan menjadi sub diakon oleh Mgr Hermelink SCJ yang juga dihadiri kedua orangtuanya, adiknya seorang biarawati di Kapel Pringsewu. Sementara pada Minggu sore dia menjalani tabisan diakon di kapelnya Susteran FSGM yang dijadikan sebagai paroki. Baru kemudian pada Kamisnya ditabiskan menjadi imam. Waktu yang begitu singkat harus menjalani tabisan membuat Romo Alfons tidak sempat membuat jubah baru, sehingga jubah yang dikenakan adalah jubah saat menjalani kaul kekal dan diakui dia sudah robek-robek.
Bergelut di Dunia Pendidikan
Usai ditabis pria yang sangat berbakat pada ilmu eksata dan pernah menjadi siswa nomor 1 dalam ujian akhir nasional se-Sumatera Selatan ini langsung dikirim ke Kairo. Di sana dia belajar bahasa Arab guna mendalami Islamilogi selama kurang lebih 2,5 tahun.
Selesai tugas belajar di Kairo, Romo Alfons melanjutkan studi selama 5 tahun di Belanda. Niatnya untuk mempelajari bahasa Arab namun di tempat tersebut hanya mengajarkan Sastra Arab sehingga Romo Alfons akhirnya memutuskan untuk pindah jurusan dengan mengambil misiologi.
Tahun 1977, Romo Alfons kembali ke Indonesia dan langsung menjadi Magister para Frater di Jakarta serta 2 tahun pertama mengajar di Seminari Agung (Seminari Tinggi Fermentum), di Unpar, Bandung. Dua tahun kemudian dia ditarik ke KWI. Waktu bertugas di KWI, Romo Alfons merangkap menjadi Dosen di STF Driyakarya dan juga merangkap Magister Frater Fransiskan di Wisma Padua, Cempaka Putih selama kurang lebih 5 tahun. Di KWI Romo Alfons pernah bertugas di Komisi HAK, Dokpen KWI.
Selama menjalani imamat, Romo Alfons selalu bergelut dengan dunia pendidikan. Selain itu selama 9 tahun dia menjabat sebagai Kepala Komisi Pendidikan OFM Indonesia. Dari KWI Romo Alfons kemudian diminta pembesarnya menjadi Direktur Vincentius.
Di Vincentius pulalah Romo Alfons mengakui menjalani tugas paling berat karena mengurus 420 anak yang berasal dari berbagai latar belakang dan pada saat itu adalah masa reformasi dimana sering terjadi demo dan mereka sering berkelahi. Anak-anak semangatnya luar biasa. Saat pintu gerbang digubrak, mereka menghadangnya dan untung ada tentara yang membantu mereka.
“Pertama kali demo itu khan banyak sekali. Macam-macam, tembak-tembakan. Saya akhirnya bilang ke atasan kalau keadaan terus-menerus begini saya tidak tahan. Saya ini khan dibesarkan oleh keluarga yang tenang. Orang tua saya mengajarkan bahasa yang santun dan tidak ada bentak. Situasi yang lunak,”kenang Romo yang memiliki semboyan imamat “Berjaga-jagalah dan Berdoalah”.
Ditanya soal hobinya, dia mengaku memiliki hobi yang berkaitan dengan teknik, dan elektronika khususnya. Selain itu dia juga ketularan bakat ayahnya sebagai tukang kayu.“Saya ketularan itu dan berkembang juga sehingga waktu di seminari pas pesta nama, Rektor saya buatkan podium dan saya juga yang sambungkan kabel-kabel,”tuturnya.
Romo Alfons tidak bisa melihat buku teknik. Kalau ada buku teknik, dia akan membacanya sampai habis. Dia mencari tahu apa saja seperti mengapa radio koq bisa berbunyi? Rasa ingin tahu yang begitu tinggi itu membuat dirinya ketika belajar di Kairo ada radio yang rusak langsung dia membeli perkakas kemudian diperbaiki. Dan, radio tersebut bisa dipakai kembali.
Secara otodidak, Romo Alfons juga belajar tentang komputer dan jaringan. Ketika mengajar di STF Driyakarya, Romo membuatkan program aplikasi mengelola data mahasiswa. Dengan aplikasi itu terang dia, data mahasiswa dapat diperoleh dengan cepat. Program aplikasi buatan dia dipakai selama 25 tahun sehingga untuk mengakses transkrip nilai mahasiswa secara keseluruhan pun dapat dilakukan hanya dalam waktu 5 menit.
Di akhir perbincangannya dengan WP, Romo Alfons menegaskan dalam menjalankan panggilan, apapun panggilan itu kita harus serius. Bagi seorang imam, kebahagiaan seorang imam itu harus ditemukan dalam imamat itu sendiri.
“Dalam hidup rohani semasa menjalani novisiat, kalau hidup gersang, kering maka tingkat hidup rohanimu menjadi lebih kuat. Kalau dihadapi dengan baik dan tegap pada tujuan semula, maka walaupun goyang suatu ketika akan selesai dan berakhir. Ini yang dinamakan proses inisiasi,”ungkap Romo yang telah menerjemahkan buku bahasa Belanda sebanyak 300 halaman dan Sejarah Fransiskan di Papua sebanyak 500 halaman.
Karena usianya sudah 75 tahun, sebagai Pastor dirinya sudah pensiun dan karena masih sehat maka di paroki St Paulus Depok, Romo Alfons siap membantu pelayanan sakramen bagi umat atau memimpin misa selama masih mampu. Dia tidak diberi beban tanggung jawab lagi untuk menetapkan kebijakan. Namun demikian Romo Alfons masih dapat memberikan pendapat.
Selamat ulang tahun Romo Alfons, doa kami semua umat paroki St Paulus Depok agar panjang umur dan sehat selalu serta senantiasa setia dalam pelayanan! (Farida Denura)
Selesai tugas belajar di Kairo, Romo Alfons melanjutkan studi selama 5 tahun di Belanda. Niatnya untuk mempelajari bahasa Arab namun di tempat tersebut hanya mengajarkan Sastra Arab sehingga Romo Alfons akhirnya memutuskan untuk pindah jurusan dengan mengambil misiologi.
Tahun 1977, Romo Alfons kembali ke Indonesia dan langsung menjadi Magister para Frater di Jakarta serta 2 tahun pertama mengajar di Seminari Agung (Seminari Tinggi Fermentum), di Unpar, Bandung. Dua tahun kemudian dia ditarik ke KWI. Waktu bertugas di KWI, Romo Alfons merangkap menjadi Dosen di STF Driyakarya dan juga merangkap Magister Frater Fransiskan di Wisma Padua, Cempaka Putih selama kurang lebih 5 tahun. Di KWI Romo Alfons pernah bertugas di Komisi HAK, Dokpen KWI.
Sebagian tamu yang hadir. Tampak Romo DR Alex Lanur OFM. |
Di Vincentius pulalah Romo Alfons mengakui menjalani tugas paling berat karena mengurus 420 anak yang berasal dari berbagai latar belakang dan pada saat itu adalah masa reformasi dimana sering terjadi demo dan mereka sering berkelahi. Anak-anak semangatnya luar biasa. Saat pintu gerbang digubrak, mereka menghadangnya dan untung ada tentara yang membantu mereka.
“Pertama kali demo itu khan banyak sekali. Macam-macam, tembak-tembakan. Saya akhirnya bilang ke atasan kalau keadaan terus-menerus begini saya tidak tahan. Saya ini khan dibesarkan oleh keluarga yang tenang. Orang tua saya mengajarkan bahasa yang santun dan tidak ada bentak. Situasi yang lunak,”kenang Romo yang memiliki semboyan imamat “Berjaga-jagalah dan Berdoalah”.
Ditanya soal hobinya, dia mengaku memiliki hobi yang berkaitan dengan teknik, dan elektronika khususnya. Selain itu dia juga ketularan bakat ayahnya sebagai tukang kayu.“Saya ketularan itu dan berkembang juga sehingga waktu di seminari pas pesta nama, Rektor saya buatkan podium dan saya juga yang sambungkan kabel-kabel,”tuturnya.
Romo Alfons tidak bisa melihat buku teknik. Kalau ada buku teknik, dia akan membacanya sampai habis. Dia mencari tahu apa saja seperti mengapa radio koq bisa berbunyi? Rasa ingin tahu yang begitu tinggi itu membuat dirinya ketika belajar di Kairo ada radio yang rusak langsung dia membeli perkakas kemudian diperbaiki. Dan, radio tersebut bisa dipakai kembali.
Secara otodidak, Romo Alfons juga belajar tentang komputer dan jaringan. Ketika mengajar di STF Driyakarya, Romo membuatkan program aplikasi mengelola data mahasiswa. Dengan aplikasi itu terang dia, data mahasiswa dapat diperoleh dengan cepat. Program aplikasi buatan dia dipakai selama 25 tahun sehingga untuk mengakses transkrip nilai mahasiswa secara keseluruhan pun dapat dilakukan hanya dalam waktu 5 menit.
Di akhir perbincangannya dengan WP, Romo Alfons menegaskan dalam menjalankan panggilan, apapun panggilan itu kita harus serius. Bagi seorang imam, kebahagiaan seorang imam itu harus ditemukan dalam imamat itu sendiri.
“Dalam hidup rohani semasa menjalani novisiat, kalau hidup gersang, kering maka tingkat hidup rohanimu menjadi lebih kuat. Kalau dihadapi dengan baik dan tegap pada tujuan semula, maka walaupun goyang suatu ketika akan selesai dan berakhir. Ini yang dinamakan proses inisiasi,”ungkap Romo yang telah menerjemahkan buku bahasa Belanda sebanyak 300 halaman dan Sejarah Fransiskan di Papua sebanyak 500 halaman.
Karena usianya sudah 75 tahun, sebagai Pastor dirinya sudah pensiun dan karena masih sehat maka di paroki St Paulus Depok, Romo Alfons siap membantu pelayanan sakramen bagi umat atau memimpin misa selama masih mampu. Dia tidak diberi beban tanggung jawab lagi untuk menetapkan kebijakan. Namun demikian Romo Alfons masih dapat memberikan pendapat.
Selamat ulang tahun Romo Alfons, doa kami semua umat paroki St Paulus Depok agar panjang umur dan sehat selalu serta senantiasa setia dalam pelayanan! (Farida Denura)
Selamat ulang tahun Romo Alfons. Wah...tanpa dirancang sebelumnya saya akhirnya bergabung juga di acara ultah Romo. Makanan serta kue tar yang enak disajikan Senin 05 Mei 2014 malam.
BalasHapusDalam perjalanan pulang ke rumah, saya diminta merapat ke Paroki untuk mewawancarai Romo Alfons yang berulang tahun. Tiba di Paroki saya diajak Romo Yosef Tote, untuk makan dulu lalu Romo Tote memohon ijin pada Romo Alfons untuk wawancara. Maka jadilah tulisan ini.
Selamat ulang tahun Romo, panjang umur, sehat, dan setia selalu dengan imamatnya.
Apakah boleh mengetahui no kontak Romo ini.??
Hapus