Syahar Banu. "Cinta itu indah. Agama dan kasih Tuhan juga indah. Keindahan hanya akan
bersatu dengan sesamanya. Kenapa harus ada perpisahan karena agama?" [Foto: Dok. Pri] |
Kemarin malam (Jumat, 4 Juli 2015-Red), aku menjadi saksi Kanonik untuk pernikahan beda agama antara sahabatku yang Islam dan tunangannya yang Katolik.
Sahabatku seorang perempuan Islam berjilbab. Sedangkan tunangannya seorang Katolik taat yang sempat menempuh pendidikan calon Imam tingkat satu di Malang. Alih-alih jadi Romo, ia lebih memilih untuk jadi programmer yang hadapi algoritma daripada umat.
Hanya dengan melihat mereka sekilas, kita akan tahu bahwa mereka adalah dua orang yang sedang jatuh cinta.
Ditunjuk jadi saksi Kanonik awalnya adalah hal mendebarkan. Aku perlu meyakinkan diri sendiri apakah mungkin seorang muslim bisa jadi saksi Kanonik? Aku kontak Romo sahabatku untuk menanyakan keabsahan "syariatnya". Romo bilang, saksi Kanonik itu yang penting mengenal calon mempelai non Katoliknya. Tidak harus beragama Katolik. Aku jadi lega. Setidaknya, sebagai sahabat yang sudah bertahun-tahun bersama, ternyata aku berguna juga.
Aku ke gereja Katedral Jakarta bersama pasangan pengantin dan teman SMA sahabatku yang juga berperan sebagai saksi Kanonik. Setelah shalat Maghrib di Istiqlal, kami menyeberang ke Gereja Katedral dan buka puasa di depan pasturan. Misa Jumat Malam belum usai. Jadilah kami menunggu sampai Romo selesai memimpin Misa.
Tepat saat Misa Jumat usai, kami berempat dipersilakan masuk ke ruang tamu Pasturan. Kedua mempelai masuk lebih dulu ke ruang kerja Romo. Romo yang menangani pernikahan ini bernama Romo Broto, Pr. Kesanku padanya, Beliau seseorang yang murah senyum dan ramah.
"Siapa yang akan jadi saksi pertama?" Tanya Romo Broto pada aku dan teman sahabatku saat kami berdua ada di ruangannya.
"Dia saja Mo, yang lebih tua." Kataku.
Romo dan teman sahabatku tertawa.
Romo memulai pertanyaan seputar sejauh mana kami mengenal calon mempelai perempuan. Dia juga bertanya soal asal wilayah, pekerjaan, alamat, dan lainnya. Kami harus mengisi selembar formulir setengah halaman kertas HVS yang isinya adalah kesaksian kami berdua bahwa mempelai perempuan non Katolik tersebut memang belum pernah menikah.
Setelah mengisi formulir, kami berdua tanda tangan di bawah kalimat sumpah yang ditutup dengan, "Demi Allah". Bukan demi Yesus dan bukan pula demi Roh Kudus. Aku senang dengan pilihan kata di dalam surat kesaksian tersebut.
"Di Katolik memang ada dispensasi dalam hal pernikahan. Kami meyakini bahwa yang namanya iman itu tak dapat dipungkiri oleh hati. Bisa saja seseorang bohong di KTP dalam hal agama hanya untuk menikah. Tapi yang namanya iman dalam hati, sulit untuk diganti-ganti. Jadi, Disparitas Cultus ini untuk memudahkan, bahwa pernikahan tak pernah jadi penghalang keimanan seseorang dan sebaliknya. Untuk apa yang Katolik pindah Islam jika hatinya tetap Katolik? Dan untuk apa yang Islam pindah Katolik jika yang nyaman baginya adalah beragama Islam? Ini adalah solusi yang diberikan gereja untuk umatnya."
Kami mengangguk mendengar penjelasannya.
Saat melakukan penelitian di gereja Santo Alfonsus Paroki Nandan, Jogja pada tahun lalu, aku sudah diberi penjelasan oleh Romo Kris mengenai hukum pernikahan dalam gereja Katolik.
Oh ya, Romo Kris ini ketua Paroki Nandan. Tema Disertasi S3 nya adalah tentang Disparitas Cultus. Saat aku menyebut bahwa aku kuliah di Paramadina, dia langsung bertanya soal pernikahan beda agama yayasan Paramadina. Aku tak tahu banyak soal pernikahan beda agama di yayasan. Jadi aku berjanji padanya untuk mencarikan info seputar itu.
Romo Kris lah yang memberi penjelasan padaku bahwa di dalam gereja Katolik memang tak ada perceraian. Adanya pembatalan pernikahan yang harus diurus sampai Vatican. Seseorang yang beragama non Katolik yang pernah menikah sebelumnya, lalu bercerai baik secara agama maupun secara negara tidak dapat lagi menikah dengan seorang Katolik karena punya halangan pernikahan. Makanya, salah satu fungsi diumumkannya pernikahan setelah Misa, selama tiga kali Misa adalah untuk mendeteksi adanya halangan pernikahan itu tadi.
Aku bercerita kepada Romo Broto soal sedikit interaksiku dengan Romo Kris yang mengenalkan aku pada konsep disparitas kultus. Dia tampak girang.
"Walaupun satu kampung sudah tahu bahwa calon mempelai belum pernah menikah, kesaksian kanonik ini tetap harus dilakukan. Ini sebagai formalitas saja." Lanjut Ketua Paroki Katedral ini.
Di tengah diskusi singkat kami, Romo memujiku dengan berkata, "Wah, kamu sudah banyak tahu Katolik."
Aku tersenyum geli.
Sebenarnya aku tak banyak tahu soal Katolik. Seorang kawan yang mengaku sebagai Katolik sesat karena tak beribadah lagi ke Gereja pernah memberikan banyak penjelasan soal kekatolikan padaku sebagai bahan riset. Selain itu, aku sering berdiskusi dengan Romo dan Frater kenalanku dan membanding-bandingkan penjelasan mereka dengan tradisi agama Samawi yang ada.
Tentu saja aku masih sering bingung dengan istilah-istilah spesifik yang dipakai orang Katolik. Jelas banyak sekali hal yang belum aku tahu soal agama lain. Bahkan aku baru tahu kalau di Katolik sunat untuk lelaki itu bukan sebuah keharusan setelah nonton film bareng di kampus yang memuat sebagian sejarah gereja Katolik abad pertengahan. Tentu saja, tidak penting untuk mengetahui apakah pengikut agama tertentu punya tradisi sunat untuk lelakinya atau tidak. Tapi, aku akhirnya paham bahwa ternyata aku tidak banyak tahu.
Mengetahui ketidaktahuan adalah sebuah pengetahuan yang berharga juga.
Hanya 5 menit waktu yang dibutuhkan untuk jadi seorang saksi Kanonik. Tunangan sahabatku bilang, waktu yang dibutuhkan tiap orang beda-beda. Tergantung Romonya juga.
Tunangan sahabatku heran, kenapa beberapa kali terdengar tawa kami.
"Kamu becandain Romo ya Ban?" Tanyanya.
Aku menggeleng. Memang ada banyak lelucon yang menyenangkan selama kami ngobrol dengan Romo sambil mengisi formulir tadi.
Sangat berbeda saat sahabat dan tunangannya menghadapi Romo. Suasananya serius. Mereka bilang, mereka ditanyai Romo dengan hal-hal yang sudah mereka pelajari saat Kursus Pernikahan.
Aku sempat bertanya pada tunangan sahabatku, kenapa dia tak membawa saksi Kanonik juga. Dia jawab, "Saksi Kanonik itu cuma dibutuhin calon mempelai non Katolik. Data diriku kan udah ada di parokiku."
Oh, begitu. Tuh kan, aku baru tahu.
Bagiku, mereka pasangan yang lucu, saling melengkapi dan menjaga. Tunangannya selalu menyarankan sahabatku untuk konsisten berjilbab. Sahabatku sering meminta tunangannya untuk membawa serta dirinya tiap Misa. Aku berbahagia untuk mereka.
Tentu saja, pernikahan beda agama masih jadi pro dan kontra di kalangan umat beragama. Keluarga sahabatku juga masih banyak yang menentang terjadinya pernikahan tersebut. Tapi, ayah sahabatku sungguh hebat. Dia berani pasang badan demi kebahagiaan anaknya. Dengan senang hati, ayahnya mengantarkan anaknya menikah di Gereja Katolik tanpa perlu pindah agama. Dulunya, ayahnya adalah seorang Kristen Protestan yang masuk Islam karena menikah dengan ibunya.
Aku mengikuti perjalanan cinta mereka. Beberapa kali, aku ikut membantu untuk menjawab setiap pertanyaan dan hujatan dari keluarga yang menentang pernikahan mereka.
Seorang yang sedang berusaha mengikuti laku sebagai seorang Sophia Perennis sepertiku, memang tidak memiliki masalah yang ada hubungannya dengan syariat pernikahan beda agama. Tentu saja, ada banyak sekali orang yang bilang betapa salahnya pandanganku. Betapa kelirunya pilihan hidup yang aku pilih.
Tapi, aku meyakini, bukankah tiap orang sedang menjalani Dharmanya masing-masing? Jika memungkiri konsekuensi pengetahuanku, alih-alih menjalankan dharma, aku malah menjalankan adharma.
Aku menerima risiko apa kata orang terhadap apa yang aku lakukan dengan hati gembira. Aku memaklumi, beberapa orang yang menghujatku memang senang menjadi juru bicara kebenaran "tuhan" yang diyakininya. Aku sih tak pernah memaksa mereka meyakini apa yang aku yakini.
Orang yang pernah dekat denganku pernah cerita bahwa beberapa kali dia berpisah karena agama dengan orang yang dia cintai. Aku sangat sedih mendengarnya. Rasanya aku ingin hadir di masa lalunya dan meyakinkan orang yang dicintainya agar tak perlu merasa berdosa mencintai orang yang berbeda iman. Cinta itu indah. Agama dan kasih Tuhan juga indah. Keindahan hanya akan bersatu dengan sesamanya. Kenapa harus ada perpisahan karena agama?
Yang aku yakini, Tuhan yang disebut dengan berbagai nama, Tuhan seluruh umat manusia, telah memberikan potensi cinta pada siapa saja tanpa memandang agamanya apa.
Kita hanya perlu menjaga pijarnya, agar jadi terang bagi sesama.
(Sumber: http://syaharbanu.blogspot.com/2015/07/ketika-aku-jadi-saksi-kanonik.html)
Sahabatku seorang perempuan Islam berjilbab. Sedangkan tunangannya seorang Katolik taat yang sempat menempuh pendidikan calon Imam tingkat satu di Malang. Alih-alih jadi Romo, ia lebih memilih untuk jadi programmer yang hadapi algoritma daripada umat.
Hanya dengan melihat mereka sekilas, kita akan tahu bahwa mereka adalah dua orang yang sedang jatuh cinta.
Ditunjuk jadi saksi Kanonik awalnya adalah hal mendebarkan. Aku perlu meyakinkan diri sendiri apakah mungkin seorang muslim bisa jadi saksi Kanonik? Aku kontak Romo sahabatku untuk menanyakan keabsahan "syariatnya". Romo bilang, saksi Kanonik itu yang penting mengenal calon mempelai non Katoliknya. Tidak harus beragama Katolik. Aku jadi lega. Setidaknya, sebagai sahabat yang sudah bertahun-tahun bersama, ternyata aku berguna juga.
Aku ke gereja Katedral Jakarta bersama pasangan pengantin dan teman SMA sahabatku yang juga berperan sebagai saksi Kanonik. Setelah shalat Maghrib di Istiqlal, kami menyeberang ke Gereja Katedral dan buka puasa di depan pasturan. Misa Jumat Malam belum usai. Jadilah kami menunggu sampai Romo selesai memimpin Misa.
Tepat saat Misa Jumat usai, kami berempat dipersilakan masuk ke ruang tamu Pasturan. Kedua mempelai masuk lebih dulu ke ruang kerja Romo. Romo yang menangani pernikahan ini bernama Romo Broto, Pr. Kesanku padanya, Beliau seseorang yang murah senyum dan ramah.
"Siapa yang akan jadi saksi pertama?" Tanya Romo Broto pada aku dan teman sahabatku saat kami berdua ada di ruangannya.
"Dia saja Mo, yang lebih tua." Kataku.
Romo dan teman sahabatku tertawa.
Romo memulai pertanyaan seputar sejauh mana kami mengenal calon mempelai perempuan. Dia juga bertanya soal asal wilayah, pekerjaan, alamat, dan lainnya. Kami harus mengisi selembar formulir setengah halaman kertas HVS yang isinya adalah kesaksian kami berdua bahwa mempelai perempuan non Katolik tersebut memang belum pernah menikah.
Setelah mengisi formulir, kami berdua tanda tangan di bawah kalimat sumpah yang ditutup dengan, "Demi Allah". Bukan demi Yesus dan bukan pula demi Roh Kudus. Aku senang dengan pilihan kata di dalam surat kesaksian tersebut.
"Di Katolik memang ada dispensasi dalam hal pernikahan. Kami meyakini bahwa yang namanya iman itu tak dapat dipungkiri oleh hati. Bisa saja seseorang bohong di KTP dalam hal agama hanya untuk menikah. Tapi yang namanya iman dalam hati, sulit untuk diganti-ganti. Jadi, Disparitas Cultus ini untuk memudahkan, bahwa pernikahan tak pernah jadi penghalang keimanan seseorang dan sebaliknya. Untuk apa yang Katolik pindah Islam jika hatinya tetap Katolik? Dan untuk apa yang Islam pindah Katolik jika yang nyaman baginya adalah beragama Islam? Ini adalah solusi yang diberikan gereja untuk umatnya."
Kami mengangguk mendengar penjelasannya.
Saat melakukan penelitian di gereja Santo Alfonsus Paroki Nandan, Jogja pada tahun lalu, aku sudah diberi penjelasan oleh Romo Kris mengenai hukum pernikahan dalam gereja Katolik.
Oh ya, Romo Kris ini ketua Paroki Nandan. Tema Disertasi S3 nya adalah tentang Disparitas Cultus. Saat aku menyebut bahwa aku kuliah di Paramadina, dia langsung bertanya soal pernikahan beda agama yayasan Paramadina. Aku tak tahu banyak soal pernikahan beda agama di yayasan. Jadi aku berjanji padanya untuk mencarikan info seputar itu.
Romo Kris lah yang memberi penjelasan padaku bahwa di dalam gereja Katolik memang tak ada perceraian. Adanya pembatalan pernikahan yang harus diurus sampai Vatican. Seseorang yang beragama non Katolik yang pernah menikah sebelumnya, lalu bercerai baik secara agama maupun secara negara tidak dapat lagi menikah dengan seorang Katolik karena punya halangan pernikahan. Makanya, salah satu fungsi diumumkannya pernikahan setelah Misa, selama tiga kali Misa adalah untuk mendeteksi adanya halangan pernikahan itu tadi.
Aku bercerita kepada Romo Broto soal sedikit interaksiku dengan Romo Kris yang mengenalkan aku pada konsep disparitas kultus. Dia tampak girang.
"Walaupun satu kampung sudah tahu bahwa calon mempelai belum pernah menikah, kesaksian kanonik ini tetap harus dilakukan. Ini sebagai formalitas saja." Lanjut Ketua Paroki Katedral ini.
Di tengah diskusi singkat kami, Romo memujiku dengan berkata, "Wah, kamu sudah banyak tahu Katolik."
Aku tersenyum geli.
Sebenarnya aku tak banyak tahu soal Katolik. Seorang kawan yang mengaku sebagai Katolik sesat karena tak beribadah lagi ke Gereja pernah memberikan banyak penjelasan soal kekatolikan padaku sebagai bahan riset. Selain itu, aku sering berdiskusi dengan Romo dan Frater kenalanku dan membanding-bandingkan penjelasan mereka dengan tradisi agama Samawi yang ada.
Tentu saja aku masih sering bingung dengan istilah-istilah spesifik yang dipakai orang Katolik. Jelas banyak sekali hal yang belum aku tahu soal agama lain. Bahkan aku baru tahu kalau di Katolik sunat untuk lelaki itu bukan sebuah keharusan setelah nonton film bareng di kampus yang memuat sebagian sejarah gereja Katolik abad pertengahan. Tentu saja, tidak penting untuk mengetahui apakah pengikut agama tertentu punya tradisi sunat untuk lelakinya atau tidak. Tapi, aku akhirnya paham bahwa ternyata aku tidak banyak tahu.
Mengetahui ketidaktahuan adalah sebuah pengetahuan yang berharga juga.
Hanya 5 menit waktu yang dibutuhkan untuk jadi seorang saksi Kanonik. Tunangan sahabatku bilang, waktu yang dibutuhkan tiap orang beda-beda. Tergantung Romonya juga.
Tunangan sahabatku heran, kenapa beberapa kali terdengar tawa kami.
"Kamu becandain Romo ya Ban?" Tanyanya.
Aku menggeleng. Memang ada banyak lelucon yang menyenangkan selama kami ngobrol dengan Romo sambil mengisi formulir tadi.
Sangat berbeda saat sahabat dan tunangannya menghadapi Romo. Suasananya serius. Mereka bilang, mereka ditanyai Romo dengan hal-hal yang sudah mereka pelajari saat Kursus Pernikahan.
Aku sempat bertanya pada tunangan sahabatku, kenapa dia tak membawa saksi Kanonik juga. Dia jawab, "Saksi Kanonik itu cuma dibutuhin calon mempelai non Katolik. Data diriku kan udah ada di parokiku."
Oh, begitu. Tuh kan, aku baru tahu.
Bagiku, mereka pasangan yang lucu, saling melengkapi dan menjaga. Tunangannya selalu menyarankan sahabatku untuk konsisten berjilbab. Sahabatku sering meminta tunangannya untuk membawa serta dirinya tiap Misa. Aku berbahagia untuk mereka.
Tentu saja, pernikahan beda agama masih jadi pro dan kontra di kalangan umat beragama. Keluarga sahabatku juga masih banyak yang menentang terjadinya pernikahan tersebut. Tapi, ayah sahabatku sungguh hebat. Dia berani pasang badan demi kebahagiaan anaknya. Dengan senang hati, ayahnya mengantarkan anaknya menikah di Gereja Katolik tanpa perlu pindah agama. Dulunya, ayahnya adalah seorang Kristen Protestan yang masuk Islam karena menikah dengan ibunya.
Aku mengikuti perjalanan cinta mereka. Beberapa kali, aku ikut membantu untuk menjawab setiap pertanyaan dan hujatan dari keluarga yang menentang pernikahan mereka.
Seorang yang sedang berusaha mengikuti laku sebagai seorang Sophia Perennis sepertiku, memang tidak memiliki masalah yang ada hubungannya dengan syariat pernikahan beda agama. Tentu saja, ada banyak sekali orang yang bilang betapa salahnya pandanganku. Betapa kelirunya pilihan hidup yang aku pilih.
Tapi, aku meyakini, bukankah tiap orang sedang menjalani Dharmanya masing-masing? Jika memungkiri konsekuensi pengetahuanku, alih-alih menjalankan dharma, aku malah menjalankan adharma.
Aku menerima risiko apa kata orang terhadap apa yang aku lakukan dengan hati gembira. Aku memaklumi, beberapa orang yang menghujatku memang senang menjadi juru bicara kebenaran "tuhan" yang diyakininya. Aku sih tak pernah memaksa mereka meyakini apa yang aku yakini.
Orang yang pernah dekat denganku pernah cerita bahwa beberapa kali dia berpisah karena agama dengan orang yang dia cintai. Aku sangat sedih mendengarnya. Rasanya aku ingin hadir di masa lalunya dan meyakinkan orang yang dicintainya agar tak perlu merasa berdosa mencintai orang yang berbeda iman. Cinta itu indah. Agama dan kasih Tuhan juga indah. Keindahan hanya akan bersatu dengan sesamanya. Kenapa harus ada perpisahan karena agama?
Yang aku yakini, Tuhan yang disebut dengan berbagai nama, Tuhan seluruh umat manusia, telah memberikan potensi cinta pada siapa saja tanpa memandang agamanya apa.
Kita hanya perlu menjaga pijarnya, agar jadi terang bagi sesama.
(Sumber: http://syaharbanu.blogspot.com/2015/07/ketika-aku-jadi-saksi-kanonik.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar