Translate

Kamis, 03 April 2014

Semana Sancta di Larantuka

Semana Sancta atau Sepekan Kudus. Tampak sejumlah jemaat tampak mengikuti misa dengan berlutut di depan altar sambil menyalakan sebaris lilin. [Foto-Foto: Ist]

SATU PEKAN sebelum Hari Paskah merupakan waktu penting bagi umat Katolik di Larantuka, sebuah kota kecil di ujung timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Mereka menyebutnya Semana Sancta atau Sepekan Kudus. Pada pekan ini Mama Muji atau Mama Pendoa memadati kapel (gereja kecil), tempat patung Bunda Maria atau Tuan Ma disimpan untuk melantunkan kidung-kidung pujian. Sejumlah jemaat tampak mengikuti misa dengan berlutut di depan altar sambil menyalakan sebaris lilin.

Mengaji Semana Sancta selesai hari Rabu yang juga disebut Rabu Trewa atau Rabu Terbelenggu. Sebab, Yesus Kristus kala itu dikhianati Yudas Iskariot dan dibelenggu tentara Romawi kemudian diseret mengelilingi Kota Nazareth. Pada malam Rabu Trewa, warga di luar kapel membunyikan berbagai peralatan untuk menggambarkan kegaduhan saat Yesus diarak. Tua dan muda terlihat antusias. Mereka memukuli tutup kaleng atau menyeret sehelai seng.

Usai Rabu Trewa, ritual berikutnya adalah Kamis Putih. Mereka melaksanakan kegiatan tikam turo atau memasang tiang-tiang tempat lilin yang akan dipakai selama prosesi Jumat Agung. Panjang turo kurang lebih tujuh kilometer. Selesai membuat turo, umat berduyun-duyun menuju Kapela Tuan Ma dan Tuan Ana untuk mengikuti upacara Munda Tuan.

Munda Tuan, adalah upacara memandikan patung Tuan Ma. Saat inilah, orang tertentu akan diselimuti keharuan ketika mengenakan opa, jubah putih perlambang kesucian. Mereka adalah orang-orang pilihan yang mendapat anugerah untuk memandikan Tuhan. Suatu ritual kuno dalam ruang tertutup atau Klausur yang sudah terjaga kerahasiaannya selama ratusan tahun. Patung Maria Dolorosa atau Maria berduka dan peti Tuan Ana diperlihatkan kepada publik sekali dalam setahun, yaitu saat Paskah.
Tuan Ma Diarak
Tak sembarang orang bisa mengikuti Munda Tuan. Hanya sosok yang dianggap bijaksana dan pernah terpilih sebagai pengurus Konfreria yang diperkenankan melaksanakannya. Dia pun harus bersaksi di bawah sumpah Kristus untuk merahasiakan pengalaman yang dialami sepanjang ritual. "Tugas memandikan diatur kelompok khusus. Anggota khusus dengan saya sebelumnya disumpah dulu untuk menjaga kerahasiaan," kata Emanuel Sani de Ornaef. Warga Larantuka juga percaya siapa pun yang membuka peti Tuan Ma bakal segera menemui ajal.

Keturunan Raja Larantuka diberi kesempatan pertama membuka pintu kapel dan mencium Tuan Ma diikuti kepala suku, mardomu, dan peziarah. Doa dan harapan pun diucapkan. Pihak gereja Katolik percaya patung Tuan Ma dan Tuan Ana dihadiahkan Imam Dominikan asal Portugis untuk orang Larantuka yang baru memeluk agama Katolik pada abad ke-16. Patung yang terbuat dari gips ini dibawa berlayar dari Malaka. Versi lain menyebutkan, kedua patung ditemukan mengapung di laut karena kapal milik misionaris yang membawanya karam.

Prosesi Jumat Agung
Di pagi Jumat Agung atau hari kematian Yesus Kristus, warga berkumpul di Gereja Kota Rewido, Sarotari, untuk menggelar misa pertama menyembah Tuan Meninu, patung kayu kecil perlambang bayi Yesus yang ditemukan di pantai berabad silam. Patung disemayamkan di sebuah peti mati untuk diarak lewat laut ke pusat Kota Larantuka. Mendung menggantung kala Tuan Meninu diarak. Awan hitam itu dipercaya sebagai tanda alam ikut berduka atas kematian Sang Juru Selamat. Peti dibawa berlayar ke Pantai Kuce dengan sampan khusus yang hanya dipakai satu kali setahun. Puluhan perahu kayu besar dan kecil berisi jemaat dari berbagai daerah terlihat mengiringi.
Tiba di Pantai Kuce, peti Tuan Meninu kembali diarak sampai ke armida atau tempat persinggahan patung Yesus Kristus dan Bunda Maria.
Tiba di Pantai Kuce, peti Tuan Meninu kembali diarak sampai ke armida atau tempat persinggahan patung Yesus Kristus dan Bunda Maria. Warga terlihat larut dalam prosesi Jumat Agung. Mereka berjalan menuju kapel Tuan Ma untuk mengangkat patung Bunda Maria yang akan mengawal arakan patung Tuan Ana. Kedua patung dibawa beriringan menuju Gereja Katedral. Penggambaran ini sesuai saat Bunda Maria mengiringi Yesus dalam dukanya.

Setelah mengantar Tuan Ma dan Ana bersemayam di Gereja Katedral, warga berziarah ke makam leluhur atau mengenang orang tercinta yang telah berada di alam baka. Para pendatang atau penziarah yang tidak punya saudara akan memasang lilin dan berdoa di depan Patung Yesus yang terletak di tengah pekuburan.

Prosesi Jumat Agung yang mengukuhkan Larantuka sebagai Kota Bunda belum selesai. Pukul 19.00 waktu setempat, jemaat berkumpul di halaman Gereja Katedral. Dengan khidmat mereka mengikuti arak-arakan menempuh jarak tujuh kilometer mengiringi Tuan Ma dan Tuan Ana. Iring-iringan berhenti di delapan armida. Armida Ini melambangkan perhentian Jalan Salib atau perjalanan Yesus dari kelahiran hingga kematian. Di setiap armida jemaat berhenti untuk mendengarkan ovos atau lagu pilu berbahasa Latin. Larantuka pun larut dalam keharuan mendalam. Hening dan damai.
Iring-iringan prosesi.
Saat Paskah tiba, masyarakat Flores punya cara unik merayakannya. Paskah tak hanya diperingati secara keagamaan dengan misa.

Masyarakat Flores juga menjalani ritual peninggalan budaya nenek moyang. Budaya tradisi masih bertahan hingga kini dan menjadi daya tarik bagi turis lokal dan mancanegara. Ke Larantuka, masyarakat dari berbagai gugusan pulau di Nusa Tenggara Timur datang. Larantuka menjadi destinasi wisata religi sepanjang minggu ini.

Ritual Paskah di Larantuka berlangsung padat mulai Rabu hingga Minggu. Siapa saja boleh ikut serta. Tak hanya umat Katolik yang merayakan Paskah karena, di Larantuka, perayaan Paskah merupakan paduan tradisi budaya suku dan ritual keagamaan umat Katolik.

Ribuan orang akan berkumpul mengikuti tradisi Paskah di Larantuka. Larantuka mulai dipenuhi pengunjung sejak Minggu Palem lalu hingga puncak acara Jumat Agung. Saat ini, warga dari berbagai pulau di Nusa Tenggara Timur berbondong-bondong meninggalkan desa menuju Larantuka. Meski begitu tidak semua warga merayakan di Larantuka. Masyarakat di Lamalera, misalnya, mereka memiliki tradisi perayaan Paskah tersendiri.

Sabtu sore, warga Larantuka melakukan Misa Sabtu Santo (Misa Malam Paskah), mulai pukul 18.00 Wita. Pada waktu inilah lonceng gereja boleh dibunyikan kembali. Selanjutnya, ritual Paskah lebih pada upacara keagamaan. Misa Minggu dilakukan tiga kali, pukul 06.00, 08.00, dan 16.00 Wita.

Ritual Paskah di Larantuka berakhir dengan Misa. Warga kembali ke rumah dan  melepas lelah. Hebatnya, selama mengikuti ritual suku dan agama sepanjang rangkaian prosesi Paskah, semua umat bersemangat dan kuat secara fisik. Memang setelahnya tubuh terasa lelah dan kebanyakan warga menikmati waktu istirahat seusai Misa Minggu. [Diolah dari berbagai sumber/Farida Denura]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar