BANDUNG (09/01/2014)-- Dari Bandung, Jawa Barat, kita mendengar kabar baik. Sehari sesudah Hari Raya Natal, Sang Walikota Mochamad Ridwan Kamil menyatakan keinginannya untuk menjadikan kota Bandung sebagai miniatur toleransi beragama. Keinginan itu ia ucapkan ketika menghadiri Open House Natal di Katedral St. Petrus, Bandung, bersama Forum Kerukunan Umat Beragama.
Kita sambut tekad Walikota Bandung itu dengan semangat memperbaiki hubungan antar-umat beragama yang banyak mengalami gangguan pasca reformasi. Indonesia yang plural, yang beragam, yang bhineka, memang wajib dijaga dan dipertahankan, terutama oleh pejabat publik yang sudah mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin.
Tentu pernyataan Ridwan Kamil ini masih harus diuji dalam praktik. Sebab sehari menjelang perayaan Natal, kita mendengar Jemaat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Bandung tak bisa menjalankan ibadahnya. Sebuah kelompok intoleran memberitahu kepolisian setempat agar tak mengizinkan jemaat GBKP menjalankan ibadat Natal. Alasannya, gereja tersebut tidak memiliki izin. Dan seperti biasa, kepolisian tak mau repot.
Di Jakarta kita juga membaca, jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi terpaksa menjalankan kebaktian Natal di depan Istana Negara. Tekanan kelompok intoleran memaksa mereka untuk terusir dari rumah Tuhan-nya. Ini adalah kali kedua sejak tahun lalu, mereka harus beribadah di depan kantor Presiden SBY. Tetapi, kita tahu, keluhan mereka tak pernah dihiraukan.
Kelompok minoritas lain yang juga acap mendapat persekusi adalah kelompok Syiah dan Ahmadiyah. Di Sampang, kelompok Syiah diserang dan diusir dari tempat tinggalnya. Sedangkan kelompok Ahmadiyah diserang di berbagai wilayah, antara lain di Mataram dan Bogor. Penyerangan paling tragis terhadap kelompok Ahmadiyah terjadi pada 6 Februari 2011 di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Dalam aksi penyerangan ini, 3 orang tewas mengenaskan.
Sederet peristiwa intoleransi lain masih panjang daftarnya. Seluruhnya menunjukkan betapa masalah gesekan horisontal ini sebenarnya tak boleh dibiarkan terus berlangsung. Penyebaran kebencian yang dilakukan kelompok-kelompok intoleran harus dihentikan. Aparat keamanan tak boleh melempem. Pejabat publik harus berdiri di depan menyelamatkan konstitusi yang digerogoti pelan-pelan.
Di sini, peran kepala daerah seperti Walikota Bandung Ridwan Kamil diperlukan. Tak boleh ada keraguan sedikit pun bagi para pemimpin untuk mencegah meluasnya tindakan intoleransi. Kebhinekaan sebagai kekayaan negeri mesti dijaga agar rumah keindonesiaan tetap nyaman bagi kehidupan bersama.
(Sumber: kbr68h.com)
Kita sambut tekad Walikota Bandung itu dengan semangat memperbaiki hubungan antar-umat beragama yang banyak mengalami gangguan pasca reformasi. Indonesia yang plural, yang beragam, yang bhineka, memang wajib dijaga dan dipertahankan, terutama oleh pejabat publik yang sudah mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin.
Tentu pernyataan Ridwan Kamil ini masih harus diuji dalam praktik. Sebab sehari menjelang perayaan Natal, kita mendengar Jemaat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Bandung tak bisa menjalankan ibadahnya. Sebuah kelompok intoleran memberitahu kepolisian setempat agar tak mengizinkan jemaat GBKP menjalankan ibadat Natal. Alasannya, gereja tersebut tidak memiliki izin. Dan seperti biasa, kepolisian tak mau repot.
Di Jakarta kita juga membaca, jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi terpaksa menjalankan kebaktian Natal di depan Istana Negara. Tekanan kelompok intoleran memaksa mereka untuk terusir dari rumah Tuhan-nya. Ini adalah kali kedua sejak tahun lalu, mereka harus beribadah di depan kantor Presiden SBY. Tetapi, kita tahu, keluhan mereka tak pernah dihiraukan.
Kelompok minoritas lain yang juga acap mendapat persekusi adalah kelompok Syiah dan Ahmadiyah. Di Sampang, kelompok Syiah diserang dan diusir dari tempat tinggalnya. Sedangkan kelompok Ahmadiyah diserang di berbagai wilayah, antara lain di Mataram dan Bogor. Penyerangan paling tragis terhadap kelompok Ahmadiyah terjadi pada 6 Februari 2011 di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Dalam aksi penyerangan ini, 3 orang tewas mengenaskan.
Sederet peristiwa intoleransi lain masih panjang daftarnya. Seluruhnya menunjukkan betapa masalah gesekan horisontal ini sebenarnya tak boleh dibiarkan terus berlangsung. Penyebaran kebencian yang dilakukan kelompok-kelompok intoleran harus dihentikan. Aparat keamanan tak boleh melempem. Pejabat publik harus berdiri di depan menyelamatkan konstitusi yang digerogoti pelan-pelan.
Di sini, peran kepala daerah seperti Walikota Bandung Ridwan Kamil diperlukan. Tak boleh ada keraguan sedikit pun bagi para pemimpin untuk mencegah meluasnya tindakan intoleransi. Kebhinekaan sebagai kekayaan negeri mesti dijaga agar rumah keindonesiaan tetap nyaman bagi kehidupan bersama.
(Sumber: kbr68h.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar